Keluar Kawasan, Ini Hasil Ekspedisi TN. Aketajawe Lolobata Tahun 2018

Senin, 03 September 2018

Sofifi, 3 September 2018. Setelah sepuluh hari berjalan mencari data keanekaragaman hayati di dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL), akhirnya pada tanggal 28 Agustus 2018 Tim Ekspedisi TNAL sampai di kantor SPTN Wilayah III Subaim. Tim ekspedisi dipisah menjadi dua kelompok untuk pengambilan data di lokasi yang berbeda, yaitu Beringin Lamo dan Tukur-tukur. Sampai di Subaim, tim bermalam di kantor SPTN III dan esok harinya (29/08) menuju kantor Balai TNAL di Sofifi.

Setibanya di Sofifi, dengan tertib dan bersuka ria, tim ekspedisi langsung membuka perlengkapan pribadi untuk dibersihkan. Setelah itu beberapa kelompok pemerhati satwa mengeluarkan spesimen atau awetan mereka untuk diidentifikasi. Kegiatan rekap data dan persiapan presentasi hasil sementara Ekspedisi TNAL Tahun 2018 dilakukan sampai tanggal 30 Agustus 2018.

Saatnya presentasi hasil. Tepat pukul 14.15 WIT, setelah Salat Jum’at (31/8), tim ekspedisi yang terdiri dari mahasiswa Himakova IPB, Spektakel dan Indonesia Dragonfly Society (IDS) mempresentasikan hasil sementara mereka selama di lapangan. Sebagai pimpinan presentasi, Kepala Balai TNAL, Muhammad Wahyudi mengapresiasi tim ekspedisi yang telah bekerja keras sampai berhari raya idhul adha dilapangan. Selanjutnya Kepala Balai mempersilahkan ketua Surili yang merupakan program Himakova ini, Ramdani untuk melakukan presentasi hasil.

“Saya berterima kasih dan mengapresiasi adik-adik mahasiswa dan seluruh Tim Ekspedisi TNAL yang telah bekerja keras mengambil data dan semua panitia yang telah mensukseskan acara ini”, Kata Muhammad Wahyudi.

Hasil yang didapatkan tim dari Himakova antara lain terdapat perjumpaan tupai di dalam kawasan oleh Kelompok Pemerhari Mamalia (KPM) yang selama ini belum pernah dijumpai oleh Balai TNAL. Temuan lainnya datang dari Kelompok Pemerhati Burung (KPB), yaitu hampir seluruh burung endemik telah dijumpai diantaranya adalah Tiong Lampu Ungu, yang merupakan endemik Maluku Utara yang juga jarang dijumpai. Total jenis burung yang dijumpai dalam kegiatan ini sebanyak 67 jenis. Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) mendapatkan data amfibi sebanyak 21 jenis dan 9 jenis diantaranya telah teridentifikasi. Sedangkan data perjumpaan reptil sebanyak 13 jenis dan sudah teridentifikasi semuanya.

Hasil dari Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu (KPK) didapatkan perjumpaan kupu-kupu sebanyak 41 jenis di Tukur-Tukur dan 27 jenis di Beringin Lamo, sedangkan yang belum teridentifikasi sebanyak 15 jenis. Kelompok Pemerhati Flora (KPF) mendapatkan data berbagai jenis tumbuhan, mulai dari semak, pohon, tumbuhan merambat, palem, pandan sampai anggrek, yang menarik adalah data anggrek, yaitu sebanyak 68 jenis anggrek yang telah dijumpai dan 24 jenis diantaranya belum teridentifikasi. Kelompok Pemerhati Goa (KPG) belum mendapatkan data potensi goa didalam kawasan TNAL di Tukur-Tukur, akhirnya mereka mendapatkan goa di luar kawasan, yaitu goa Paniki yang kemudian dipetakan. Kajian tentang ekowisata dari Kelompok Pemerhati Ekowisata adalah ditemukannya beberapa air terjun yang dapat dijadikan objek wisata alam akan tetapi memiliki akses yang cukup jauh.

Kelompok sosial budaya mengkaji budaya Masyarakat Tobelo Dalam (MTD) di Dusun Tukur-Tukur, Dusun Beringin Jaya dan Dusun Titipa. Beberapa data kajian yang didapat seperti seni berbalas pantun atau salombe yang saat ini hanya bisa didengar dari warga yang sudah tua. Selain itu terdapat larangan untuk memakan beberapa jenis burung, seperti burung Nuri, Kakatua Putih dan Kasturi Ternate karena mereka (MTD) menganggap burung tersebut dapat berbicara layaknya manusia. Mereka juga tidak memakan burung elang, karena menganggap elang itu jahat dan suka makan burung lainnya. Data historis atau sejarah MTD di Desa Tukur-Tukur dimulai pada tahun 1960 an, dimana mereka mulai keluar dari hutan dan tahun 1987 berdirilah Dusun Tukur-Tukur sampai sekarang.

Kajian sosial budaya ini kemudian dilanjutkan oleh tim dari Spektakel. Mereka menyatakan bahwa istilah Masyarakat Tobelo Dalam merupakan istilah yang diberikan oleh orang lain, karena MTD tersebut tidak tahu kalau mereka disebut MTD. Masyarakat ini menyebut dirinya sebagai suku Togutil dan sebagian lagi sebagai O Hongana Manyawa, yang berarti orang dari hutan. Keberadaan seni budaya mereka lambat laun akan punah, karena yang dapat melakukan tarian-tarian dan lagu-lagu adat hanya para orang tua dan para pemudanya sudah mulai meninggalkan kebiasaan tersebut. Terdapat empat kriteria O Hongana Manyawa, yaitu kelompok yang sudah bermukim, kelompok yang masih di kawasan hutan tetapi sering datang ke perkampungan, kelompok yang sudah di luar kawasan tetapi masih beraktifitas di dalam kawasan dan kelompok yang masih asli yang ada di dalam kawasan hutan. Kelompok yang masih asli merupakan kelompok adat yang rentan, yaitu rentan terhadap perubahan pola hidup dari orang luar (pengunjung).

“TNAL beserta instansi Pemda yang terkait dapat turut melestarikan budaya mereka dengan membuat kelompok pemuda yang kemudian aktif dalam acara penerimaan tamu kunjungan, dan lainnya”, kata Suryo, Tim Spektakel. “Kami bukan tidak berani untuk mengunjungi kelompok yang masih asli, tetapi kami tidak mau membawa dampak negatif buat mereka, seperti gaya berpakaian, makan dan gaya hidup lainnya karena mereka masih rentan terpengaruh pola hidup dari luar”, imbuhnya.

Presentasi terakhir dari tim IDS. Tim yang bergelut dibidang capung tersebut menemukan sebanyak 36 jenis, 18 jenis diantaranya ditemukan di luar kawasan taman nasional, yaitu di lokasi kemah konservasi di gunung Uni-Uni. Hal ini dikarenakan di Uni-Uni terdapat kolam air yang jernih di tempat terbuka. Terdapat catatan baru sebanyak 3 jenis.

Sumber : Akhmad David Kurnia Putra - Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata

http://www.aketajawe.com

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Belum terdapat komentar pada berita ini