Erpangir, Harmonisasi Alam dan Budaya

Senin, 27 Agustus 2018

Medan, 27 Agustus 2018. Taman Wisata Alam (TWA) Lau Debuk-debuk, Desa Doulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, pada Sabtu 24 Agustus 2018 melakukan ritual Erpangir. Erpangir mengandung arti mandi keramas atau istilah sekarang mandi kembang. Sebelum Erpangir, ritual didahului dengan Ercibal, yaitu memasang sesajen, berupa bunga (kembang), jeruk purut, buah-buahan, makanan, ayam hidup, dan sesajen lainnya. Jadi Ercibal ras Erpangir  (memasang sesajen dan mandi keramas) ini pada dasarnya merupakan ritual yang diyakini dan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menginginkan sesuatu terjadi dalam hidupnya, mulai dari  kesehatan, kesembuhan sakit penyakit, rezeki dan keberuntungan usaha, sampai kepada masalah perjodohan. Menariknya, ritual ini telah menjadi budaya/tradisi bagi masyarakat penganut yang meyakininya. Pada awalnya budaya Erpangir ini tumbuh dikalangan masyarakat etnis/suku Karo. Namun dalam perkembangannya, ritualisasi Erpangir juga diikuti oleh masyarakat berbagai suku/etnis, dan bahkan juga dari berbagai latarbelakang agama maupun keyakinan. Penganut/pelakunya pun tidak hanya berasal dari masyarakat sekitar kawasan TWA Lau Debuk-debuk, melainkan juga masyarakat dari  luar kota Brastagi, Kabupaten Karo sampai luar Propinsi Sumatera Utara.

Keberadaan ritual Erpangir  merupakan salah satu kearifan lokal yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung kawasan TWA Lau Debuk-debuk dan patut untuk terus dijaga serta dipertahankan. Budaya Erpangir ini juga memberi dampak yang positif terhadap keberadaan dan keberlangsungan kawasan TWA Lau Debuk-debuk. Dengan ritual yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu setiap bulan (menurut kalender Karo), ada edukasi dan penyadaran (awarness) yang bisa dipetik manfaatnya.

Pertama, setiap pelaku ritual diingatkan untuk menjaga kesakralan dan etika selama berada dilokasi kawasan TWA Lau Debuk-debuk. Peserta ritual dan pengunjung wajib menjaga sopan santun terutama dalam bertutur kata. Bahkan penganut tradisi ini saat akan mandi di kolam, sebelumnya mengucapkan “santabi” (kata permisi untuk mandi) kepada leluhur yang diyakini ada disekitar kawasan TWA Lau Debuk-debuk.

Kedua, dengan kesakralan serta  pentingnya keberadaan kawasan yang menjadi pusat ritual, tentunya akan memperkuat posisi kawasan TWA Lau Debuk-debuk agar tetap dipertahankan serta dijaga kelestariannya.

Ketiga, dengan ritual Erpangir, juga memposisikan kawasan TWA Lau Debuk-debuk sebagai pusat berkumpul dan bersatunya masyarakat. Rasa kekeluargaan dan persatuan terlihat kental disaat acara ritual, meskipun mereka masing-masing datang dari daerah yang berbeda-beda, suku yang beragam dan agama yang tidak sama.

Energi positif yang dihasilkan  dari budaya/tradisi Erpangir ini terhadap keberadaan kawasan TWA Lau Debuk-debuk, sejatinya harus terus dijaga dengan membenahi kawasan konservasi dimaksud.

Balai Besar KSDA Sumatera sangat memahami hal ini, sehingga selama 2 (dua) tahun berturut-turut (tahun 2017 s.d 2018) dilakukan berbagai pembenahan berupa pembangunan fasilitas pendukung yang diharapkan  memberi kenyamanan bagi pengunjung, seperti pembangunan gapura, shelter, pondok kerja, MCK,  penataan kolam mandi dan berbagai fasilitas lainnya.

Sosialisasi keberadaan kawasan TWA Lau Debuk-debuk juga terus dilakukan dalam upaya meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Peringatan Hari Konservasi Alam Nasional Tahun 2018, yang mengangkat tema : “Harmonisasi Alam dan Budaya”, diharapkan menjadi momentum dan event penting dalam memasyarakatkan Harmonisasi TWA Lau Debuk-debuk dengan Budaya Erpangir. Sehingga budaya Erpangir tetap eksis dan TWA Lau Debuk-debuk tetap lestari. (Evansus Renandi Manalu). “Ayo ke TWA Lau Debuk-debuk”

Sumber : Balai Besar KSDA Sumatera Utara

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini