Kondisi Terkini Populasi dan Habitat Orangutan

Senin, 28 Agustus 2017

Jakarta (28/7/2017). Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia bekerjasama Forum Orangutan Indonesia (FORINA) beserta forum orangutan regional dan para pihak yang bekerja untuk kepentingan keberlangsungan konservasi orangutan melakukan analisis kelangsungan hidup populasi dan habitat (Population and  Habitat Viability Analysis/PHVA) Orangutan Sumatra (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) pada 23-27 Mei 2016 yang lalu di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Kegiatan terlaksana atas kerjasama Forum Orangutan Indonesia (FORINA), Orangutan Foundation-United Kingdom, IUCN SSC Primate Specialist Group, IUCN SSC Conservation Breeding Specialist Group dan didukung oleh lembaga-lembaga dan para praktisi-pemerhati konservasi orangutan. Berdasarkan hasil PHVA Orangutan 2016, saat ini diperkirakan terdapat 71.820 individu orangutan yang tersisa di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimatan, Sabah dan Serawak) di habitat seluas 18.169.200 hektar. Populasi tersebut tersebar ke dalam 52 meta populasi dan hanya 38% di antaranya diprediksi akan lestari (viable) dalam 100-500 tahun kedepan.

 Sejak dikaji pada PHVA 2004 yang lalu, kajian populasi dan distribusi orangutan sumatera (Pongo abelii) semakin berkembang dan dilakukan lebih rinci, dari yang semula diprediksi terdapat 6.667 individu dan tersebar di habitat seluas 703.100 hektar dengan batasan ketinggian di bawah 800 m dpl, maka saat ini populasinya diperkirakan terdapat 14.470 individu di habitat seluas 2.155.692 hektar. Saat ini orangutan sumatera dapat ditemukan di habitat sampai dengan ketinggian 1.500 m dpl serta tersebar di 10 meta populasi dan hanya dua populasi di antaranya yang diprediksi akan lestari (viable) dalam waktu 100-500 tahun kedepan, itupun adalah lokasi pelepasliaran di Jantho Aceh Tenggara dan Bukit Tigapuluh di Jambi. Namun demikian, Fakta tersebut sama sekali tidak mengindikasikan terjadinya peningkatan populasi, sebab apabila dilihat dari kepadatan populasi, justru berkurang dari 0.95 individu/Km2 menjadi 0.67 individu/Km2.

 Lain di Sumatera lain pula di Borneo. Walaupun sama-sama mengalami perkembangan wilayah cakupan kajian yang lebih luas dan rinci, namun tidak demikian dalam hal estimasi populasi.  Saat ini orangutan borneo (Pongo pygmaeus) diperkirakan terdapat 57.350 individu di habitat seluas 16.013.600 hektar yang tersebar di 42 kantong populasi, 18 di antaranya diprediksi akan lestari dalam waktu 100-500 tahun kedepan. Kondisi ini memperbaharui fakta 10 tahun yang lalu yang menyebutkan bahwa populasinya diprediksi terdapat 54.817 individudi habitat seluas 8.195.000 hektar yang dilakukan di area kajian yang terbatas. Jika membandingkan kepadatan populasi, maka terjadi kecenderungan penurunan dari 0.45-0.76 individu/Km2menjadi 0.13-0.47 individu/Km2. Selain itu, terdapat juga populasi orangutan borneo yang hidup di satu bentang alam yang menghubungkan habitatnya di wilayah Indonesia dan Malaysia, yaitu populasi dari sub-jenis Pongo pygmaeus pygmaeus di meta populasi Betung Kerihun dan Batang Ai-Lanjak Entimau, Taman Nasional Klingkang Range-Sintang Utara serta Taman Nasional Bungoh dan Hutan Lindung Penrisen. Untuk itu, perlu adanya kerjasama konservasi orangutan dan habitatnya antara Indonesia dan Malaysia untuk melindungi populasi dan habitat yang saling terhubung.

 Berdasarkan hasil analisis kelangsungan hidup populasi (Population Viability Analysis/PVA) orangutan kalimantan, angka minimum populasi yang akan bertahan di dalam suatu habitat adalah 200 individu orangutan untuk kemungkinan kepunahan kurang dari 1% dalam 100 tahun dan kurang dari 10% dalam 500 tahun, dan 500 individu orangutan untuk menjaga kualitas dan variasi genetika. Jika ini digunakan sebagai rujukan, maka banyak meta populasi orangutan kalimantan yang terfragmentasi memerlukan keterhubungan melalui koridor dengan metapopulasi lainnya.

 Melihat kondisi populasi dua jenis orangutan tersebut menunjukkan bahwa ancaman kelestarian orangutan dan habitatnya meningkat akibat dari  konversi hutan menjadi fungsi lain, tingginya frekuensi aktivitas penyelamatan  (rescue) dan konfiskasi. Oleh karena itu, perlu upaya lebih serius dalam perlindungan kawasan konservasi dan penerapan praktek-praktek pengelolaan terbaik (Best Management Practices) di dalam konsesi yang menjadi habitat orangutan di luar kawasan konservasi. Hasil PHVA Orangutan 2016 ini akan digunakan sebagai landasan ilmiah dalam penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2017-2027 bersama serangkaian hasil evaluasi dokumen sebelumnya.

 Walaupun populasi Orangutan Kalimantan menurun, namun penurunan ini tidak terjadi dengan sangat cepat, sehingga menyebabkan perubahan status konservasi IUCN. Setidaknya terdapat 43% dari meta-populasinya memiliki tingkat viabilitas yang baik, dibandingkan Orangutan Sumatera yang hanya 20%. Sehingga, penurunan status konservasi Orangutan Kalimantan yang dilakukan oleh ahli primata IUCN pada tahun 2016, dari status spesies terancam punah (endangered) menjadi kritis (critically endangered), tidak sesuai dengan fakta saat ini dan perlu direvisi. Hasil dari PHVA Orangutan 2016 ini, dalam waktu dekat akan dijadikan acuan utama dalam pembuatan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan (SRAK) 2017-2027, mengantikan SRAK 2007-2017 yang akan berakhir pada tahun ini. Dengan data yang lebih baik dan lengkap ini diharapkan dalam perencanaan SRAK berikutnya, dapat menghasilkan suatu strategi yang nyata, terukur dan dapat diimplementasikan.

 Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

  1. Desy Satya Chandradewi, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian LIngkungan Hidup dan Kehutanan, Email: desysatyac@gmail.com, Mobile: +62 812 9542 679
  2. Sri Suci Utami Atmoko, Forum Orangutan Indonesia (FORINA).

Email: suci_azwar@yahoo.co.id, Mobile: +62 815 1397 6405

 

Catatan untuk Editor:

FORINA dibentuk dalam Kongres Orangutan Indonesia pada 25 Februari 2009, yang merupakan sebuah organisasi yang berbasis konstituen yang terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok pemerintah (baik institusi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok pelaku usaha, serta kelompok akademisi/ peneliti/ ahli/ pemerhati orangutan serta masyarakat lokal yang hidup di dalam dan atau sekitar habitat

orangutan. Lembaga multi pihak ini memiliki beberapa fungsi, diantaranya:

  1. Media pemersatu untuk melakukan tindakan yang sinergis dalam konservasi orangutan.
  2. Wahana komunikasi, berbagi informasi, pengalaman dan pengetahuan yang berkaitan dengan konservasi orangutan diantara sesama Anggota FORINA.
  3. Wadah untuk mendorong dan menyatukan gerakan sosial untuk konservasi orangutan.
  4. Wadah untuk menggalang dan memelihara hubungan antara Anggota FORINA dan dengan segenap konstituen FORINA.

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 3

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini