Rabu, 25 April 2018
April 2018. Cenderawasih, makhluk cantik bergelar si Burung Surga, dalam beberapa waktu ini menjadi pusat perhatian, baik di Papua maupun Nusantara. Jumlah populasinya yang sangat sedikit di alam, perburuan terus-menerus, juga lunturnya sakralitas cenderawasih di kalangan masyarakat adat Papua menjadi bagian dari faktor utama keprihatinan banyak pihak terhadap cenderawasih. Si burung surga itu ditetapkan sebagai spesies prioritas untuk ditingkatkan populasinya oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang sekarang disebut sebagai Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Selama rentang waktu empat tahun, 2015-2019, cenderawasih diupayakan meningkat populasinya sebanyak 10%.
Banyak pihak, termasuk lembaga dan komunitas lingkungan di Papua telah melakukan kampanye, seminar, hingga pagelaran seni tari dan teater, yang ditujukan untuk menjaga cenderawasih dari kepunahan. Banyak suara diteriakkan, gugatan diajukan, dan kecaman dilontarkan. Pemerintah yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap kelestarian populasi cenderawasih, para pemburu, juga para pemakai mahkota bangkai cenderawasih yang sebenarnya tidak berhak, semuanya pernah mendapatkan suara-suara keras itu. Sebagai catatan, mahkota cenderawasih bersifat sakral bagi masyarakat Papua, khususnya Sentani dan Jayapura. Hanya kepala suku dan ondoafi yang berhak mengenakannya dan hanya pada saat-saat tertentu pada upacara-upacara adat.
Cenderawasih adalah makhluk cantik dengan proses perkembangbiakan yang relatif lambat. Betina hanya bertelur dua atau tiga butir dalam satu masa kawin, yang kemungkinan hanya sekali dalam satu tahun. Bila perburuan terus dilakukan, cenderawasih dapat dipastikan punah suatu hari nanti, karena ketidakseimbangan antara jumlah bayi cenderawasih yang ditetaskan dan pengambilan secara liar di alam.
Dalam konteks ini, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua telah melakukan upaya-upaya pengelolaan pada beberapa site monitoring. Kampung Baraway di Kabupaten Kepulauan Yapen adalah salah satunya. Sementara jenis cenderawasih yang menjadi fokus tetaplah cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor).
Meskipun terdapat 43 spesies cenderawasih dengan berbagai kekhususannya, namun yang paling akrab di tengah masyarakat Papua adalah si burung kuning kecil. Sebagian masyarakat Papua menggunakan bangkai cenderawasih kuning kecil sebagai mahkota kehormatan dan kewibawaan para pimpinan adat, misalnya suku Sentani. Sebagian lagi menggunakannya untuk maskawin, seperti pada suku Muyu. Kharisma cenderawasih kuning kecil diperoleh dari warna dan bentuk bulunya, tariannya, juga kicauannya yang nyaring berirama. Begitulah popularitas cenderawasih kuning kecil, yang membuat keberadaannya terancam punah saat ini.
Pengamatan di site monitoring Baraway, yang berlangsung pada 23 Maret hingga 5 April 2017, meliputi kondisi habitat dan perkembangan populasi cenderawasih kuning kecil.
Secara fisik, cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor) sangat mirip dengan cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda). Hanya saja Paradisaea minor berukuran lebih kecil. Warnanya kuning dan cokelat, dengan paruh abu-abu kebiruan. Pada sekitar leher terdapat bulu-bulu mengkilap berwarna hijau zamrud. Iris matanya kuning.
Paradisaea minor adalah jenis burung yang berbeda bentuk antara jantan dan betina. Bulu betina lebih simpel dan sederhana. Hanya cokelat di bagian punggung dan sayap, dengan dada putih bersih tanpa bulu-bulu hiasan. Sementara si jantan dapat kita katakan sebagai pesolek, karena bulu-bulu hiasannya sangat menawan. Warnanya putih dan kuning, menjurai panjang dari bagian sisi perut. Itu pun masih dilengkapi dua tali hitam di bagian ekor. Bulu-bulu hiasan ini menjadi daya tarik jantan saat musim kawin, dipertontonkan kepada betina dalam tarian.
Berdasarkan hasil penelitian Rand dan Gilliard pada tahun 1967, Paradisaea minor menyebar pada ketinggian 10 hingga 1500 meter di atas permukaan laut. Lebih ke atas, aktifitas cenderawasih semakin berkurang. Daerah jelajah atau home range cenderawasih umumnya pada radius 2 km, sesuai keadaan topografi di sekitar habitat.
Tim BBKSDA Papua melakukan pengamatan pada petak seluas 1x1 kilometer, dengan dua titik yang telah diketahui sebagai tempat cenderawasih beraktifitas. Jarak kedua titik tersebut 190 meter berdasarkan pengukuran dengan Aplikasi Google Earth. Dipastikan bahwa kawanan Paradisaea minor di titik A bukanlah kawanan burung yang berada di titik B. Karena pengamatan dilakukan dalam waktu bersamaan oleh dua tim kecil, yang melibatkan Kelompok Pencinta Alam Dorey Jaya dari Kampung Baraway.
Secara umum, kondisi habitat pada kedua titik pengamatan tidak jauh berbeda. Hanya saja, pada titik pertama terdapat air permukaan pada kubangan tanah bekas pohon tumbang. Sedangkan pada titik pengamatan kedua tidak terdapat air permukaan. Analisa vegetasi pada kedua titik menunjukkan, masih terdapat banyak pohon yang buahnya merupakan pakan cenderawasih, antara lain buah beringin, gnemo, pala hutan, kapiroki, dan semang.
Pohon-pohon tinggi yang menjadi tempat bermain cenderawasih pun masih banyak dijumpai. Antara lain, pohon pala hutan, jambu hutan, nibung, merbau, dan ariyai. Pepohonan itu merimbun di hutan Baraway, sebagai habitat kawanan cenderawasih kuning kecil.
Pengamatan di titik pertama, kawanan cenderawasih memiliki tenggeran di dahan pohon beringin (Ficus sp). Sedangkan di titik kedua, tenggeran berada di dahan pohon terentang atau ketapang hutan (Chamnosperma sp).
Saat musim kawin, cenderawasih tampak sebagai burung komunal, hidup berkelompok dan melangsungkan perkawinan bersama-sama. Mereka memiliki satu dahan, yang dapat kita ibaratkan seperti kamar khusus. Hanya di dahan itu saja mereka melakukan percumbuan dan kawin mawin. Selanjutnya kita sebut tenggeran, tempat kawanan cenderawasih itu bertengger saat bercumbu.
Mengenai kondisi populasi, tulisan ringkas ini mengacu kepada hasil monitoring pada tahun 2017 di Site Monitoring Baraway. Di titik A, populasi cenderawasih kuning kecil diduga mengalami penurunan. Kemungkinan kawanan cenderawasih di sana merasa terganggu, karena terdapat jalan setapak yang menjadi jalur aktifitas masyarakat pergi ke kebun, atau berburu. Sedangkan titik B, justru mengalami peningkatan berdasarkan hasil perhitungan pendugaan populasi. Tampaknya kawanan cenderawasih kuning kecil menyukai pohon terentang di sana, karena mempunyai tajuk yang jarang, dengan banyak cabang dan ranting yang terbuka.
Secara umum, jumlah populasi cenderawasih kuning kecil di Site Monitoring Baraway mengalami peningkatan di tahun 2017. Sebelumnya, pada pengamatan bulan April 2016 berjumlah 20 ekor jantan dan betina per site monitoring. Sementara pada Maret 2017 menjadi 22 ekor jantan dan betina per site monitoring. Peningkatan populasi ini terkait erat dengan kondisi habitat yang terjaga, dan tak kalah penting adalah kesadaran masyarakat yang semakin baik mengenai konservasi. Namun, ada hal lain yang cukup mengancam keberadaan cenderawasih kuning kecil di alam liar. Pertama adalah pemangsa alami, biawak dan ular. Dua jenis hewan itu memangsa telur dan bayi cenderawasih. Kedua adalah para pemburu, yang mengambil keuntungan ekonomi.
Dari dua jenis ancaman ini, tampaknya perburuan menjadi persoalan yang paling krusial. Sekilas melihat sejarah, sekitar tahun 1900-1930 terjadi perburuan besar-besaran cenderawasih kuning kecil dan apoda untuk diekspor ke Eropa. Tampaknya sejak masa inilah cenderawasih di Papua mengalami penurunan populasi yang sangat drastis. Dalam konteks ini, penyadaran kepada masyarakat mengenai konservasi, terutama cenderawasih, menjadi persoalan mendesak yang harus menjadi perhatian semua pihak. []
Sumber : Dzikry el Han & Johan Gustiar - Balai Besar KSDA Papua
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5