Senin, 05 Februari 2024 Sekretariat Ditjen KSDAE
Jakarta, 5 Februari 2024. Untuk memberikan Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Pengembangan Bioprospeksi dan Indikasi Geografis Keanekaragaman Hayati Indonesia, Direktorat Jenderal (Ditjen) KSDAE menggelar kegiatan FGD (Focus Group Discussion) pada hari Senin (05/02/2024), di ruang Rimbawan I Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.
Menggandeng Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Kekayaan Intelektual) dan BRIN, Focus Group Discussion kali ini menjadi sarana sosialisasi pentingnya perlindungan hukum HAKI dan sekaligus dapat menghasilkan rumusan roadmap/rencana aksi perlindungan hukum terhadap hasil-hasil penelitian Bioprospeksi dan Indikasi Geografis Keanekaragaman Hayati yang ada di dalam dan atau di sekitar kawasan konservasi. Lebih lanjut FGD ini diharapkan juga mendorong langkah konkrit untuk segera memberi perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual bioprospeksi keanekaragaman hayati yang tengah dikembangkan oleh UPT lingkup Ditjen KSDAE.
“Betapa pentingnya perlindungan hukum HAKI bioprospeksi dan indikasi geografis keanekaragaman hayati, dalam upaya menjaga hak-hak negara dan masyarakat atas pemanfaatan keanekaragaman hayati yang kita miliki. Diharapkan dimasa yang akan datang tidak ada lagi pencurian, penyelundupan material genetik/informasi genetik atau klaim atas HAKI pengembangan bioprospeksi. Sehingga dapat terwujud pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati berkelanjutan dan berkeadilan,” jelas Direktur Jenderal KSDAE dalam sambutannya yang diwakili Sekretaris Jenderal KSDAE, Senin (05/02/2024).
Direktorat Jenderal KSDAE sendiri telah melakukan kegiatan bioprospeksi melalui penelitian dan pengembangan, baik yang dilakukan mandiri oleh UPT maupun bekerjasama dengan lembaga riset/perguruan tinggi. Namun, hasil penelitian bioprospeksi dan potensi hak kekayaan komunal keanekaragaman hayati saat ini belum terdokumentasi dengan baik dan belum mendapat perlindungan hukum.
Secara khusus pada FGD kali ini, Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) menyampaikan hasil kekayaan bioprospeksi yang tengah dikembangkan. Dalam kurun waktu tiga tahun (2020-2023), kegiatan pengembangan bioprospeksi di Balai TNGM telah menghasilkan 19 produk bioprospeksi dari 8 bahan baku yang bukan merupakan jenis tumbuhan dilindungi UU ataupun jumlah yang terbatas di alam. Sementara Balai TNGC saat ini sudah mengembangkan beberapa potensi bioprospeksi, seperti bakteri anti-frost (anti pembekuan) dan bakteri yang mereduksi dampak kutu daun pada tanaman pertanian.
Sebagaimana arahan Menteri LHK, Ditjen KSDAE akan segera melakukan pendaftaran HAKI atas hasil penelitian bioprospeksi dari Balai TNGM dan Balai TNGC tersebut. Harapannya, upaya perlindungan HAKI atas hasil penelitian bioprospeksi ini dapat dilakukan secara optimal sehingga tersedia paten atas hasil penelitian yang dilakukan oleh UPT Ditjen KSDAE.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Paten Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual KemenKumham memberikan rekomendasi kepada Ditjen KSDAE untuk membentuk Sentra/Klinik Pelayanan Kekayaan Intelektual KSDAE untuk menindaklanjuti proses perlindungan HAKI atas bioprospeksi keanekaragaman hayati. Ditjen KSDAE, juga diharapkan memastikan kepemilikan KI (Kekayaan Intelektual) dalam perjanjian kerjasama, memastikan pengungkapan asal usul sumber paten, dan melakukan kehati-hatian dalam publikasi terkait temuan baru (novelty). Direktorat Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) dan Rahasia Dagang, Ditjen KI, KemenKumham, juga berkesempatan menyampaikan terkait tata cara dan persyaratan pendaftaran paten. Selanjutnya, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, Ditjen KI, KemenKumham, menyampaikan terkait keanekaragaman hayati indikasi geografis Indonesia.
Beberapa langkah rencana aksi akan segera diterapkan Ditjen KSDAE pasca kegiatan Focus Group Discussion, yakni penyadartahuan tentang hak atas kekayaan intelektual berkaitan dengan keberadaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati kepada UPT Ditjen KSDAE, instansi terkait dan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Ditjen KSDAE juga akan melakukan inventarisasi sumber daya alam yang memiliki potensi Indikasi Geografis terhadap produk masyarakat sekitar kawasan konservasi. Sebagaimana diketahui, perlindungan Indikasi Geografis menjadi bagian pemberdayaan masyarakat untuk dapat menjadi nilai tambah (added value) dalam produk tersebut, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi.
Sumber: Setditjen KSDAE
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5