Rabu, 11 September 2024 BBKSDA Sumatera Utara
Edukasi menyenangkan di kawasan konservasi
Medan, 11 September 2024. Berita Harian Kompas edisi Sabtu 31 Agustus 2024, pada halaman 11, menarik sekaligus mengejutkan, karena harian ini mengangkat topik/judul berita “Anak Usia 16 Tahun Terlibat Jual Beli Satwa Langka di Cirebon”. Dalam pemberitaannya, Kompas menguraikan, seorang anak, S, berusia 16 tahun di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, diduga terlibat dalam jual beli burung elang hingga berang-berang. Satwa dilindungi itu diperjualbelikan melalui media sosial.
Kepala Polresta Cirebon Komisaris Besar Sumarni, dalam konferensi persnya, Jumat (30/8), mengatakan bahwa pelaku, S sebelumnya membeli satwa dilindungi tersebut melalui (media) online dengan harga berkisar antara Rp. 200.000,- dan Rp. 500.000,-. S telah memeliharanya selama satu minggu dan berencana menjualnya, sampai akhirnya upaya tersebut berhasil digagalkan polisi. Pihak kepolisian menyita empat burung yang dilindungi, yaitu dua jenis burung Alap-alap (Accipiter trivirgatus), satu Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) dan satu Elang Bondol (Haliastur indus). Selain itu juga ada dua Berang-berang Gunung (Lutra sumatrana). Semuanya dalam kondisi hidup dan sehat.
Sumarni menuturkan, jika terbukti memelihara dan memperdagangkan satwa dilindungi, S melanggar Pasal 21 Ayat (2) Huruf a dan atau Pasal 40A ayat (1) Huruf D Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 terkait konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. S pun terancam penjara maksimal 15 tahun.
Peristiwa ini menjadi menarik untuk dicermati mengingat pelakunya adalah seorang dalam kategori anak, yang terlibat secara langsung dalam perdagangan jual beli satwa langka yang dilindungi. Fenomena ini menjadi perlu untuk didalami lagi, apa sesungguhnya yang menjadi motifnya serta bagaimana mengantisipasinya ke depan agar peristiwa yang sama, yang melibatkan anak-anak dalam pusaran perdagangan illegal satwa liar dilindungi, dapat dicegah.
Menurut pendapat penulis, bila mencermati kasus pemilikan dan perdagangan satwa liar, sedikitnya ada 3 faktor utama yang menjadi penyebabnya, yaitu : masalah ekonomi (pemenuhan kebutuhan hidup), penegakkan hukum yang belum maksimal terhadap pelaku sehingga tidak menimbulkan efek jera serta edukasi konservasi alam dan lingkungan hidup yang belum membumi dan belum berdampak. Alasan faktor ekonomi dan penegakkan hukum yang belum maksimal, tentunya itu masalah klasik yang sepertinya akan terus ada. Justru yang menarik untuk diperbincangkan adalah masalah edukasi konservasi alam dan lingkungan hidup.
Pendidikan (edukasi) sangat berkaitan erat dengan perilaku, dimana perilaku merupakan gambaran dari peranan manusia yang berinteraksi dengan lingkungan dan sangat berpotensi untuk dapat menentukan arah lingkungan ke posisi yang lebih baik atau bahkan sebaliknya, semakin rusak. Apabila perilaku manusia dan segenap kelompok sosial mau mempelajari dan memelihara perilaku positif terhadap lingkungan maka hal tersebut dapat menjadi sinyal untuk memperingatkan manusia.
Pentingnya pendidikan konservasi alam sesungguhnya telah diakomodir di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dimana pasal 37 diatur tentang Peranserta Rakyat, yang bunyinya :
Kemudian dalam penjelasan pasal 37 ayat (2) dirinci dan dipertegas, bahwa dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi di kalangan rakyat, maka perlu ditanamkan pengertian dan motivasi tentang konservasi sejak dini melalui pendidikan sekolah dan luar sekolah.
Memang benar, bahwa pendidikan di lingkungan sekolah selama ini sudah mengajarkannya melalui pengintegrasian subjek konservasi alam dan lingkungan hidup sebagai bagian dari subjek lainnya, dan umumnya beberapa diantaranya menjadi subjek utama kurikulum resmi, seperti misalnya pelajaran biologi dan geografi.
Namun sayangnya hasilnya belum optimal dan maksimal, karena pengembangan dan penerapannya masih bersifat teoritis. Pengenalan flora dan fauna masih sebatas penjelasan lisan dari guru dan hanya bersumber dari diktat (buku pelajaran). Demikian halnya dengan pengenalan kawasan konservasi, juga hanya terbatas pada pembahasan yang terdapat di buku-buku pelajaran.
Model-model pembelajaran yang seperti itu cenderung monoton dan tidak menarik bagi generasi muda untuk mempelajari maupun mendalaminya. Padahal, belajar konservasi alam dan lingkungan hidup sejatinya harus mampu membangun dan membentuk 3 aspek perilaku, yaitu : Knowledge, dimana pengetahuan konservasi alam dan lingkungan hidup merupakan upaya membekali individu dengan pengetahuan dasar mengenai totalitas konservasi alam dan lingkungan hidup, permasalahannya serta peran dan tanggung jawab manusia.
Kemudian aspek Attitude atau sikap, yaitu upaya mendorong individu agar memiliki nilai-nilai sosial, kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan serta motivasi untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan dan peningkatan kualitas lingkungan. Serta aspek Practice atau partisipasi, merupakan upaya mengembangkan rasa tanggung jawab pada individu serta memberi peluang agar dapat terlibat secara aktif memecahkan berbagai permasalahan lingkungan.
Keterbatasan yang dimiliki oleh dunia pendidikan melalui sekolah-sekolah, baik dalam hal keterbatasan kurikulum, sumber daya manusia, waktu maupun sarana prasarana pendukung, memang dapat dimaklumi. Oleh karena itu sejatinya peranan para rimbawan untuk melengkapi dan menyempurnakan materi pembelajaran yang sudah ada dan berlangsung, dengan model pembelajaran yang baru serta menarik menjadi urgen untuk dikembangkan.
Jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal KSDAE, mempunyai ujung tombak seperti pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Penyuluh Kehutanan dan Polisi Hutan (Polhut), yang dapat diandalkan untuk mendesain serta mewujudkan program edukasi konservasi alam dan lingkungan hidup.
Kawasan konservasi yang tersebar di berbagai wilayah kerja dan memiliki keragaman potensi baik flora dan fauna, wisata, keunikan alam dan kearifan lokal, sangat layak untuk dijadikan sebagai ruang kelas (pusat pembelajaran) konservasi alam. Generasi muda dapat melihat, mengamati, mengenal langsung potensi serta merasakan aura lingkungan alami, sehingga secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa kekaguman yang pada akhirnya akan tumbuh kesadaran dan keinginan untuk ikut berpartisipasi menjaga kawasan konservasi tersebut.
Membangun generasi muda peduli konservasi alam
Ekspektasi kepada rimbawan-rimbawan kreatif yang tersebar di seluruh Indonesia, agar secara massal mengemas Desain Besar Edukasi Konservasi Alam dan Lingkungan Hidup dengan berbagai materi muatan lokal dan model-model pembelajaran yang inovatif, inspiratif dan menarik. Tidak terbayangkan, bila ekspektasi ini bisa terwujud, tentunya betapa kayanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki beragam muatan-muatan lokal pendidikan konservasi alam. Bukan hanya itu, ada banyak juga sekolah-sekolah yang ada di sekitar kawasan konservasi di seluruh Indonesia, dari semua tingkatan yang terjamah oleh rimbawan-rimbawan kreatif. Dan yang tak kalah pentingnya, ada banyak pula jiwa-jiwa muda yang disegarkan wawasan serta dibangun kesadarannya akan konservasi alam, sehingga 20 tahun kedepan, Indonesia memasuki dan memiliki Era Generasi Emas Konservasi Alam.
Sumber : Evansus Renandi Manalu (Analis Tata Usaha) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5