Senin, 19 Agustus 2024 BBKSDA Sumatera Utara
(Sumber foto : Harian Mistar, Selasa, 5 September 2023)
Medan, 19 Agustus 2024. Masih ingat tentang kasus kepemilikan satwa ilegal oleh Bupati Non Aktif Langkat Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) ? Dimana salah satu satwa illegal yang dilindungi tersebut adalah jenis Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Vonis Hakim Pengadilan Negeri Stabat kala itu, Senin (28/8/2023) menghukum TRP dengan pidana 2 bulan penjara dan denda Rp. 50 juta subsider 1 bulan kurungan. Vonis ringan ini secara spontan memicu reaksi Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus) bersam Forum Konservasi Orangutan Indonesia (Forina) dengan menggelar aksi damai di depan kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, pada Senin (4/9/2023), membawa replika (boneka) orangutan dan mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Langkat untuk mengajukan banding atas vonis hukuman yang dirasakan terlalu ringan tersebut (Harian Mistar, Selasa 5 September 2023, hal. 12).
Jaksa Penuntut Umum pun kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, dan Majelis Hakim Hakim Pengadilan Tinggi mengkoreksi putusan PN. Stabat dengan menjatuhkan hukuman 4 bulan kurungan serta denda Rp. 50 juta subsider 1 bulan kurungan kepada TRP, sesuai dengan Putusan Banding Nomor: 1374/PID.B/LH/2023/PT MDN.
Kemudian kasus pun bergulir ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, dan berdasarkan putusan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung Nomor : 2205K/Pid.Sus-LH/2024 menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan, dimana TRP tetap divonis 4 bulan kurungan serta denda Rp. 50 juta subsider 1 bulan kurungan (Harian Mistar, Selasa, 25 Juni 2024, halaman 12).
Vonis hukuman kepada pelaku baik kepemilikan maupun perdagangan illegal khususnya Orangutan Sumatera bukanlah yang pertama, ada beberapa kasus juga yang termonitor oleh berbagai media baik cetak, elektronik maupun media on-line, yang akan penulis uraikan di momentum peringatan Hari Orangutan Sedunia (Orangutan Day) 2024 tepatnya tanggal 19 Agustus 2024, sebagai bahan refleksi bagi kita semua.
Pada Kamis (28/4/2022), Tim Subdit IV/Tipidter dan Subdit V/Siber Crime Ditreskrimsus Polda Sumatera Utara bersama dengan petugas Balai Besar KSDA Sumatera Utara berhasil menggagalkan perdagangan 1 (satu) individu Orangutan Sumatera di Perumahan Cemara Asri, Kota Medan dengan menangkap pelaku Thomas Raider Chaniago. Lalu dalam sidang yang dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam di Labuhan Deli, pada Senin (17/10/2022), Majelis Hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 10 juta subsider 6 bulan kurungan kepada terdakwa Thomas Raider Chaniago.
Kasus berikutnya terjadi di wilayah hukum Kota Langsa, Aceh, ketika Nanta Agustia, warga Alue Pineung, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, berhasil ditangkap jajaran kepolisian saat hendak menjual 1 (satu) individu anak Orangutan Sumatera, pada Senin (3/7/2023). Kemudian oleh Majelis Hakim PN Kota Langsa menjatuhkan vonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 40 juta subsider 1 bulan kurungan kepada pelaku.
Berlanjut, kasus perdagangan Orangutan Sumatera juga berhasil dibongkar oleh petugas Kepolisian Resort (Polres) Aceh Tamiang, Aceh, pada Rabu (13/9/2023), dengan menangkap 4 (empat) orang pelaku. Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, menghukum terdakwa Ali Ahmad, warga Desa Upah, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang, dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100 juta subsider 3 bulan kurungan, kemudian Arigozali dengan pidana penjara 1 tahun 9 bulan dan denda sebesar Rp. 100 juta subsider 3 bulan kurungan, M. Amin dengan pidana penjara 1 tahun 3 bulan dan denda sebesar Rp. 100 juta subsider 3 bulan kurungan, serta Irwansyah dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp. 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Kemudian, kasus perdagangan 2 (dua) individu Orangutan Sumatera yang berhasil digagalkan jajaran Polda Sumatera Utara pada akhir September 2023. Kasus ini bermula ketika Reza Heryadi alias Ica membawa 2 individu orangutan dari Langsa ke Kota Medan. Reza berhasil ditangkap petugas di kawasan jl. Sisingamangaraja, Kota Medan, pada Rabu (27/9/2023). Reza mengaku hanya sebagai kurir, lalu petugas pun kemudian berhasil menangkap Ramadhani alias Bolang di Kota Langsa, Aceh sebagai otak pelaku. Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan vonis hukuman 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 50 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Ramadhani alias Bolang. Sementara Reza Heryadi alias Ica divonis hukuman 2 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 50 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dari gambaran kasus di atas, penulis memiliki beberapa catatan khusus : pertama, patut kita mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang telah bekerja keras mengawasi, melakukan penindakan, memproses sampai pada menjatuhkan putusan. Itu artinya penegakan hukum sejatinya memang menjadi salah satu instrumen atau alat untuk melindungi dan menyelamatkan satwa liar dilindungi yang bernama Orangutan.
Kedua, adanya perbedaan dalam menjatuhkan vonis hukuman kepada pelaku/tersangka/terdakwa menjadi bagian penting untuk dievaluasi bersama (didiskusikan kembali) dan dicarikan solusinya, terutama ketimpangan dalam menentukan vonis hukuman kepada para pelaku/tersangka/terdakwa. Kita semuanya tentu sepakat bahwa hakekat dari penjatuhan sanksi hukuman bukan semata-mata untuk menghakimi (baca juga : menghukum) atau pembalasan terhadap perbuatan pelaku/tersangka/ terdakwa, melainkan yang utama adalah mengedukasi serta menyadarkan (awareness) bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu adalah salah, sehingga memberi dampak efek jera bagi para pelaku maupun calon pelaku potensial lainnya. Dengan hukuman yang terlalu ringan, ini akan memberi edukasi yang tidak baik serta mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang sama.
Ketiga, melalui tema Hari Orangutan Sedunia Tahun 2024 “Love For Orangutan” menjadi momen penting juga untuk merefleksi perjalanan penegakan hukum terhadap perlindungan dan penyelamatan Orangutan. Perlu dibangun sinkronisasi serta sinergitas antar aparat penegak hukum, sehingga upaya penegakan hukum nantinya akan memberi manfaat dan dampak yang positif. Sinergitas ini dimulai dari tingkat pertama (penyelidikan dan penyidikan), berlanjut ke tahap penuntutan, sampai pada muaranya putusan pengadilan. Kolaborasi ini ibarat sebuah “simponi orchestra” yang harmonis menghasilkan nada-nada yang indah (baca juga : keputusan optimal dan kebermanfaatan) bukan hanya bagi tegaknya hukum tetapi juga terselamatkannya orangutan, yang 97 % DNA-nya persis sama dengan DNA kita manusia.
Penulis menyadari membangun sebuah sinergitas dalam sebuah “simphoni orchestra” bukanlah hal yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Ada nada-nada sumbang (baca juga : kepentingan) di orchestra tersebut. Tapi cepat atau lambat sinergitas ini harus terus dibangun, kalau kita tidak ingin rasa kebanggaan terhadap Orangutan sebagai endemik Indonesia, dikenang hanya dalam cerita dongeng pengantar tidur saja ….. Ayo terus suarakan “Love For Orangutan”
Sumber : Evansus Renandi Manalu (Analis Tata Usaha) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5