Memaknai Kukilo dan Fenomena Silent Forest di Masa Kini

Selasa, 16 Juli 2024 BKSDA Yogyakarta

Yogyakarta, 13 Juli 2024. Dalam filosofi jawa kepemilikan akan kukilo (burung) menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan. Saat ini pengertian akan kukilo telah mengalami pergeseran, kini kukilo dimaknai sebagai bentuk hobi atau kesenangan dalam memelihara burung. Burung yang dimaksud dalam kukilo ini awalnya adalah burung anggunan yakni burung – burung pemakan biji yang mengeluarkan bunyi mengalun seperti derkuku, puter, dan perkutut. Namun kini, burung-burung berkicau seperti murai batu, cucak rawa, dan kacer juga termasuk dalam daftar kukilo.

Semakin banyak jenis burung yang dipelihara oleh penghobi tersebut, selanjutnya memunculkan pertanyaan menggelitik “dari mana masyarakat penghobi tersebut memperoleh burung kukilo nya?”

Idealnya memang burung-burung kukilo ini berasal dari hasil penangkaran, akan tetapi mengingat waktu yang diperlukan untuk penangkaran burung tidaklah sebentar dan tingkat keberhasilanannya pun bervariasi, tak jarang pengambilan burung di alam dijadikan sebagi salah satuj jalan pintas untuk penyediaan burung tersebut.

Dalam jangka waktu yang panjang, pengambilan burung di alam memiliki konsekuensi yang cukup besar, ketika jumlah yang diambil semakin banyak, akan mengakibatkan berkurangya jenis burung di alam secara signifikan. Hal ini yang kemudian memicu munculnya silent forest atau hutan yang sepi. Pada silent forest ini akan sangat sulit menemukan burung-burung liar, meski kondisi hutan cukup bagus. Itu karena pemburu mengambil burung di alam secara asal tanpa memandang umur burungnya.

Menyikap ihal tersebut, Balai KSDA Yogyakarta melakukan pendataan burung-burung di alam di berbagai wilayah di DIY melalui kegiatan smart patrol yang dilakukan secara berkesinambungan.  Khusus resort konservasi wilayah (RKW) Sleman – Kota Yogyakarta telah melakukan pendataan di wilayah kerjanya yang meliputi Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta hingga bulan Juni 2024, dan telah berhasil menemukan 74 jenis burung dimana 8 diantaranya merupakan jenis dilindungi berdasarkan P. 106/2018, dan sebagian jenis burung lainnya merupakan jenis burung yang rutin bermigrasi di wilayah DIY.

Pendataan tersebut dilakukan pada 30 titik pengamatan yang meliputi daerah urban dan daerah perkotaan. Temuan di sebagian daerah urban menunjukkan adanya fenomena silent forest dan sebaliknya di ruang terbuka hijau di daerah perkotaan yang padat dengan aktivitas manusia justru menjadi habitat yang cukup aman bagi burung.

Secara ringkas hasil pengamatan dirangkum sebagaimana tabel berikut

Persebaran titik pengamatan

26 titik di Kabupaten Sleman

4 titik di Kota Yogyakarta

Jenis-jenis burung dilindungi yang ditemukan

1.       Elang ular bido

2.       Elang brontok

3.       Alap-alap kawah

4.       Bubut jawa

5.       Gelatik jawa

6.       Kipasan belang

7.       Serindit jawa

8.       Alap-alap sapi

Jenis-jenis burung yang sering dijumpai saat pengamatan

1.       Bondol jawa

2.       Perkutut jawa

3.       Burung madu sriganti

4.       Cucak kutilang

5.       Cabai jawa

6.       Bondol peking

7.       Tekukur biasa

8.       Merbah terucuk

Sumber : Gunungan, Juni 2024

Upaya mempertahankan kelestarian satwa di Indonesia memerlukan adanya kerjasama yang baik antar berbagai pihak mengingat keberadaan burung di alam dapat menjadi indikator terhadap kualitas lingkungan. Kehadiran burung di suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut masih asri, dan selain itu secara ekologis burung berperan dalam menebar biji dan melakukan penyerbukan. Fenomena silent forest menjadi tantangan yang perlu ada solusinya.

Ketika pemerintah telah melakukan upaya preventif dengan menetapkan regulasi perlindungan satwa, maka Balai KSDA Yogyakarta sebagai bagian dari institusi pemerintah juga berupaya mendukung pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut. Di tingkat tapak, Balai KSDA Yogyakarta juga melakukan upaya preventif melalui kegiatan sosialisasi dan pendidikan lingkungan terkait satwa, mengembangkan kerjasama dengan para pemerhati dan pelestari satwa, serta melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum.

Namun demikian, tantangan di lapangan cukup besar karena terkadang permintaan satwa berasal dari masyarakat dengan tingkat ekonomi yang cukup mapan dan dengan latar pendidikan yang cukup tinggi. Pembangunan kesadaran masyarakat menjadi catatan penting yang perlu segera ditindaklanjuti.

Kerjasama dengan mitra pelestari satwa dan paguyuban burung di Jogja diharapkan dapat membantu mendorong kesadaran masyarakat untuk menjaga populasi burung di alam agar hutan tetap bernyanyi.

Sumber: Balai KSDA Yogyakarta

Sumber informasi:

Gunawan (PEH Balai KSDA Yogyakarta)

Editor:

Donna Susanti

Penanggung jawab berita:

Kepala Balai KSDA Yogyakarta

Kontak informasi:

Call center Balai KSDA Yogyakarta (0821-4444-9449)


 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini