Perjalanan Panjang di Balik Ekspedisi dan Penemuan TSL Baru

Senin, 22 Januari 2024 Sekretariat Ditjen KSDAE

Jakarta, 22 Januari 2024. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Conservation International menyebut Indonesia sebagai salah satu dari 17 negara “Mega Biodiverse” dengan 2 dari 25 “Hotspot” dunia. Kondisi ini menjadi sebuah anugerah dan tantangan, terutama bagi pegiat konservasi di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal KSDAE beserta UPT-nya di daerah, mendukung kegiatan eksplorasi untuk menguak potensi keanekaragaman hayati di Indonesia yang belum teridentifikasi. Direktorat Jenderal KSDAE sendiri melalui UPT-nya terus mengupayakan kegiatan identifikasi dan inventarisasi keanekaragaman hayati secara konsisten dari waktu-ke waktu. Eksplorasi terus dilakukan untuk meminimalkan kesenjangan pengetahuan terhadap kawasan alami. Untuk wilayah-wilayah tertentu yang sangat remote dan sulit dijangkau dengan alasan keselamatan dan ketersediaan logistik, juga dilakukan kegiatan-kegiatan spesifik sejenis ekspedisi dengan pola kolaboratif.

Pada September 2023 lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah melakukan eksplorasi keanekaragaman hayati di kawasan Cagar Alam Sapat Hawung. Kawasan ini merupakan sebagian kecil dari rangkaian Pegunungan Muller yang termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Kawasan Sapat Hawung berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Timur dan merupakan salah satu blank spot informasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Ekspedisi ini dimulai dari tanggal 9 September dan berlangsung lebih dari dua pekan. Tim ekspedisi yang diketuai oleh Kepala Balai BKSDA Kalimantan Tengah, Sadtata Noor Adirahmanta ini kembali ke Palangka Raya pada tanggal 24 September 2024 tengah malam. 

Perjalanan panjang penuh tantangan itu membuahkan hasil manis. Tim yang terdiri dari staf BKSDA Kalteng, staf BTN Sebangau, tim ahli biologi sistematika (botani, herpetofauna, avifauna, mamalia), dan Tim Dokumentasi ini berhasil mengoleksi 95 spesimen tumbuhan dari 14 famili, 97 dokumentasi spesies avifauna yang terdiri dari 37 famili, 40 sampel spesies herpetofauna, serta informasi indikasi keberadaan Badak Sumatera di Sapat Hawung. Hasil pengumpulan data ini masih harus melewati proses pengujian, identifikasi dan analisa, untuk mengetahui apakah spesies tersebut adalah tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang berpotensi spesies baru atau bukan.

Ketua Tim Ekspedisi Sapat Hawung mengatakan jika eksplorasi ini menjadi penting dalam dunia konservasi, terlebih bagi pemangku kepentingan di dunia konservasi. Ditambah lagi, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum terjamah dan belum terinventarisasi, seperti di Sapat Hawung.

“Kementerian LHK khususnya Ditjen KSDAE, dan di wilayah ada UPT BKSDA, itu mengemban amanah untuk menyelenggarakan konservasi kehati (keanekaragaman hayati), untuk bisa menyelenggarakan konservasi kehati dengan benar, kita harus paham apa yang harus kita kelola dan jaga, itulah pentingnya eksplorasi, dan masih banyak wilayah yang belum tereksplorasi,” jelas Sadtata saat diwawancarai di acara Rakornis Ditjen KSDAE Tahun 2024, Selasa (16/01/2024). 


Manajemen Ekspedisi

Menyiapkan eksplorasi atau sebuah ekspedisi tentu tidak mudah. Pernyataan ini diakui oleh Iwan Sujatmiko, analis monitoring, evaluasi dan pelaporan di BKSDA Kalteng, saat ditemui di Rakornis Ditjen KSDAE Tahun 2024 di Auditorium Ir. Soedjarwo, Jakarta, Selasa (16/01/2023) lalu. Iwan menjelaskan, banyak hal yang harus disiapkan, di antaranya fisik anggota tim, perencanaan rute yang akan ditempuh, perencanaan kebutuhan logistik, dan perencanaan pendanaan. “Perencanaan dan pendanaan itu penting. Penganggaran paling besar dalam Ekspedisi Sapat Hawung ini adalah biaya untuk transportasi, logistik dan upah masyarakat yang terlibat dalam ekspedisi,” jelas Iwan Sujatmiko. 

Iwan juga menjelaskan jika lokasi penjelajahan di Sapat Hawung cukup sulit dan remote, sehingga membutuhkan waktu dan biaya yang tak sedikit. Terlebih, jalur yang akan ditempuh tim ekspedisi tidak hanya darat, tapi juga air. Iwan menyebutkan tim harus menyewa perahu kecil untuk membawa tim dari kampung terakhir yang ditemui, menuju kawasan Cagar Alam Sapat Hawung yang lebih dalam. Akan tetapi, perencanaan yang sudah dibuat, terkadang harus dihadapkan dengan kondisi alam yang tidak menentu. Sehingga, tim harus sudah siap dengan rencana tambahan dengan memperhitungkan kondisi alam di sepanjang rute, dan menyesuaikan dengan anggaran yang sudah direncanakan.

Menurut Iwan, perencanaan Ekspedisi Sapat Hawung kali ini lebih matang dibanding ekspedisi yang pernah dilakukan BKSDA Kalimantan Tengah sebelumnya. BKSDA Kalteng pernah melakukan ekspedisi serupa di tahun 2009 dan 2011, namun Iwan menyebut jika perencanaan dua ekspedisi sebelumnya, tidak cukup matang sehingga hasil yang diperoleh belum cukup memuaskan. “Belajar dari pengalaman yang ada, (di ekspedisi kali ini) kami membuat semua kegiatan benar-benar terencana, terutama dari segi pendanaan. Kami bersyukur banyak mitra yang men-support,” jelas Iwan.

Perencanaan tidak hanya soal penganggaran tapi juga dokumentasi. Dokumentasi dalam sebuah ekspedisi sangat penting, karena dapat membantu peneliti untuk merekam apa yang ditemukan. Harley Bayu Sastha, travel writer yang ikut bergabung dengan Tim Ekspedisi Sapat Hawung sebagai tim dokumentasi mengatakan bahwa dokumentasi bisa menjadi ‘mata kedua’ bagi penjelajah dan peneliti saat eksplorasi. 

“Saat ekspedisi, ada kemungkinan sesuatu terlewat dari pandangan, dan itu bisa terekam dalam dokumentasi. Selain itu, tanpa dokumentasi dari naturalis masa lalu, mungkin kita tidak akan tahu tentang kawasan-kawasan yang hendak kita jelajahi lagi. Itu mengapa penting sekali untuk mendokumentasikan kondisi kawasan saat ini, agar bisa memberi gambaran untuk masa depan,” jelas Harley saat ditemui usai sesi Sharing Session Sapat Hawung di Rakornis Ditjen KSDAE Tahun 2024, Selasa (16/01/2024).

Persiapan untuk dokumentasi sendiri juga tidak mudah. Harley menyebut, timnya harus melakukan riset terlebih dahulu. Tidak hanya riset kawasan dan rute, tapi juga komunikasi dengan para peneliti, sehingga pendokumentasian apa yang ditemukan bisa terekam dengan baik. Sinergi dan komunikasi dengan tim, mulai dari persiapan dan selama ekspedisi berperan penting dalam keberhasilan sebuah ekspedisi. Tapi apakah ekspedisi cukup berhenti di situ saja begitu tim keluar dari kawasan dengan membawa temuan spesies baru?

Jalan Panjang untuk Memperoleh Pengakuan Temuan Baru

Direktur Jenderal KSDAE, Prof. Satyawan Pudyatmoko menyampaikan jika eksplorasi seperti yang dilakukan di Sapat Hawung menjadi penting di dunia konservasi, tidak hanya soal penemuan potensi tumbuhan dan satwa liar (TSL) saja tapi juga diharapkan juga bisa membantu di bidang keilmuan lain. 

“Eksplorasi ini sangat bermanfaat untuk identifikasi spesies baru, atau yang telah lama hilang dan muncul kembali. Selain itu, pentingnya ekspedisi ini adalah untuk inventarisasi potensi. Pentingnya penggalian potensi kekayaan kehati Indonesia melalui ekspedisi dan eksplorasi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, khususnya yang dalam merekam kondisi alam, ekologi, keanekaragaman hayati dan potensinya untuk masyarakat dan keilmuan,” jelas Prof. Satyawan Pudyatmoko dalam sesi Sharing Session Sapat Hawung di Rakornis Ditjen KSDAE Tahun 2024, Selasa (16/01/2024).

Kegiatan eksplorasi memang bertujuan untuk menemukan potensi yang masih tersembunyi. Tapi perjalanan penemuan spesies baru tidak berhenti begitu sudah ditemukan saat eksplorasi maupun ekspedisi. Untuk mendapat pengakuan secara resmi dan diakui, spesies baru yang ditemukan dalam sebuah ekspedisi harus melewati berbagai tahapan dari pengoleksian spesimen hingga pengkajian. 

“Tahap yang paling dasar adalah bagaimana kita mengoleksi spesimen. Di dalam pengoleksian spesimen itu, kita ada pengkajian-pengkajian populasi. Setelah pengkajian populasi, lalu mengoleksi spesimen, ada juga pengkajian literasi atau pengkajian literatur. Dan tahap selanjutnya akan dilakukan eksaminasi, pengkajian lebih dalam terkait morfologi dan pendekatan fisiologi, dan didiskusikan bersama expert di bidang spesifik tersebut,” jelas peneliti botani, Yuda Rehata, yang mengikuti ekspedisi di Sapat Hawung.

Yuda menjelaskan, tahapan untuk mendapat ‘pengakuan’ atas temuan spesies baru memang tidak mudah dan membutuhkan waktu cukup lama. Setelah berdiskusi dengan expert di bidang yang spesifik, tahapan selanjutnya adalah taksonomi treatment atau penulisan publikasi ilmiah. Setelah menulis deskripsi spesies yang ditemukan itu dalam manuskrip, dan mendaftarkan manuskrip tersebut ke international journal. Di tahap ini, waktu yang dibutuhkan cukup lama, Yuda menyebut waktu tercepat untuk lolos review international journal adalah tiga bulan. Tapi, review bisa berlangsung sangat lama hingga bertahun-tahun, tergantung pada ‘bobot’ dari spesies yang diajukan tersebut dan juga kebijakan dari masing-masing publisher. Setelah melewati tahap itu, manuskrip yang lolos akan dirilis dan spesies yang ditemukan diakui secara resmi dan global.

Menemukan spesies baru hingga membuatnya diakui secara global itu tidak mudah, tidak murah dan tidak bisa cepat. Proses ‘pengukuhan’ temuan baru harus melewati jalan panjang, sehingga tidak semua orang mau dan mampu untuk melewati segala proses ini. Tapi tidak bagi Sadtata dan tim. Dalam pembukaan di video dokumentasi ekspedisi, Sadtata mengaku tertantang saat tahu medan yang akan dihadapi. Kepala BKSDA Kalteng ini juga mengajak kepada para peneliti muda dan para pegiat konservasi untuk lebih giat dan bersemangat melakukan eksplorasi lewat ekspedisi.

“Saya ingin kita lebih aware, jangan hanya berbangga dan ikut bertepuk tangan ketika peneliti asing menemukan kehati baru di Indonesia. Ayo, para peneliti dan para penjelajah kita (Indonesia), masih banyak yang bisa kita lakukan, masih banyak yang harus kita selesaikan. Ayo jelajahi kawasan-kawasan kita, temukan keanekaragaman hayati kita,” ajak Sadtata Noor menutup wawancaranya usai Sharing Session Sapat Hawung.


Sumber: Setditjen KSDAE

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 4.3

Komentar

Belum terdapat komentar pada berita ini