Jumat, 09 Februari 2018
Kawasan Cagar Alam Morowali terletak di Kabupaten Morowali Utara dan Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas ± 209.400 Hektar. Sebagai kawasan cagar alam, CA Morowali memiliki potensi budaya asli masyarakat tradisional Suku Wana “Tao Taa Wana” yang sangat unik. Mereka menerapkan hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di dalam kawasan hutan CA Morowali selama berabad-abad dengan kearifan lokalnya/ adat istiadat yang dimiliki.
Suku Wana “Tao Taa Wana” mendapat pengakuan terhadap hak masyarakat adat dalam mengelola hutan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK. 6747/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016, tanggal 28 Desember 2016 tentang Penetapan Hutan Adat Wana Posangke seluas ± 4.660 Ha di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara Propinsi Sulawesi Tengah bahwa Hutan Adat Wana Posangke seluas ±3.988 Ha dari kawasan CA Morowali dan ± 672 Ha dari kawasan Hutan Produksi.
Salah satu role model Balai KSDA Sulawesi Tengah tahun 2018 adalah “Pengelolaan Bersama/ Kolaborasi Hutan Adat Di CA Morowali Dengan Masyarakat Adat Wana Posangke”. Untuk itu diperlukan inventarisasi guna memperoleh data dan informasi mengenai sosial ekonomi dan budaya masyarakat suku Tao Taa Wana yang berada dalam hutan adat CA Morowali. Hal ini sangat penting sebagai bahan penyusunan rencana pengelolaan kawasan Cagar Alam Morowali bersama masyarakat suku Tao Taa Wana kedepannya.
Suku Tao Taa Wana dikawasan hutan adat CA Morowali mendiami lembah dan bukit-bukit di sepanjang aliran sungai Salato. Secara administrasi pemerintahan, wilayah adat Wana Posangke masuk dalam Desa Taronggo Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara. Pola mukim yang berkelompok (komunal) hingga saat ini teridentifikasi empat belas satuan mukim (lipu) yakni : Vyautiro, Pu’mbatu, Sumbol, Likubae, Vatungkaya, Vomboyombe, Pantol, Pattujalanjo, Latampe, Vatuno’a, Sankiyoe, Posanke, Rapambavang. Jumlah penduduk yang menghuni delapan lipu di wilayah Wana Posangke berjumlah 104 Kepala Keluarga atau sekitar 592 orang.
Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, masyarakat Suku Wana sangat bergantung pada lahan pertanian yaitu sawah dan ladang. Masyarakat Suku Wana memiliki pola pertanian yang menerapkan sistem berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Suku Wana membuka hutan dengan cara dibakar kemudian digarap untuk berladang selama 1-2 tahun. Setelah beberapa kali masa tanam, lahan akan ditinggalkan selama 3 tahun untuk mengambalikan kesuburan tanah. Selain tanaman padi dan palawija, masyarakat suku wana telah melakukan budidaya tanaman nilam. Hasil Hutan Bukan Kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat wana yaitu Damar untuk dijual dan Rotan untuk kebutuhan sendiri.
Kehidupan orang Wana sangat tergantung pada kearifan lingkungan alam sekeliling mereka. Oleh karena itu mereka sangat mempercayai adanya ruh (spirit) yang menjaga atau memelihara setiap jengkal tanah dan hutan. Setiap kerusakan lingkungan ataupun perubahan siklus alam yang tidak berjalan sebagaimana biasanya, dipercayai sebagai tanda murkanya sang penjaga.
Saat ini, adat istiadat yang sudah dijunjung tinggi oleh masyarakat suku wana hanya diketahui dan dijalankan oleh sebagian kecil orang Wana. Sebagian masyarakat Suku Wana sekarang mulai berfikir dalam kerangka pemenuhan kebutuhan ekonomi, yang tentu saja berimplikasi untuk memperoleh keuntungan. Dorongan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mengakibatkan tidak memikirkan lagi adat-istiadat yang dijunjung dari jaman nenek moyang. Adat istiadat masyarakat suku wana yang masih berlaku hingga saat ini adalah upacara perkawinan dan perceraian, pembukaan lahan untuk berladang dan menebang pohon.
Sumber : Balai KSDA Sulawesi Tengah
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0