Senin, 28 April 2025 BBKSDA Sumatera Utara
Alexander Halim dan Imran saat didengar keterangannya
Medan, 28 April 2025. Setelah libur beberapa pekan, sidang kasus dugaan korupsi alih fungsi kawasan hutan Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading Langkat Timur Laut kembali digelar, di ruang Cakra Utama PN. Medan, pada Kamis (24/4), dengan agenda sidang memeriksa dan mendengarkan keterangan Alexander Halim alias Akuang dan Imran, S.PdI., secara bersamaan sebagai terdakwa dan sekaligus sebagai saksi (Saksi Mahkota).
Dalam keterangannya dihadapan Majelis Hakim, Alexander Halim menerangkan, bahwa ia memiliki lahan kebun sawit yang berada di Desa Tapak Kuda dan Desa Pematang Cengal, Kabupaten Langkat. Lahan tersebut diperolehnya pada tahun 2001 melalui pembelian. Namun sebelumnya, pada tahun 1996 ia juga sudah memiliki lahan di lokasi yang sama tetapi bersifat kolaborasi (kongsi) dengan beberapa orang, yang sebelumnya juga sudah diperiksa sebagai saksi, yaitu : Sudarman, Cokroharianto dan Rudi alias Acay. Keseluruhan lahan tersebut akhirnya dialihkan kepemilikannya ke Alexander Halim. Kemudian Alexander Halim pun menghubungi Kepala Desa Tapak Kuda saat itu, almarhum Ismail, yang merupakan orangtua dari Imran, S.PdI. untuk mengurus sertifikat tanah.
Pada awalnya Alexander Halim mengurus SHM ke Notaris Minarni, namun karena objek lahan yang akan disertifikat berada di Kabupaten Langkat, sementara Notaris Minarni wilayah hukumnya di Kota Medan, akhirnya pengurusan dialihkan ke Notaris Wenni yang berkedudukan di Stabat, Kabupaten Langkat.
Alexander Halim menjelaskan, atas petunjuk dari Notaris Weni dan sesuai peraturan, bahwa penerbitan SHM di lahan pertanian/kebun maksimal 2 hektar, pemiliknya harus merupakan warga sekitar lokasi lahan berada, yang dibuktikan dengan identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena Alexander Halim, istrinya dan anaknya berdomisili di Kota Medan, akhirnya menurut Alexander Halim, Notaris Wenni yang menghubungi Kepala Desa Tapak Kuda, Imran, S.PdI., untuk menerbitkan Surat Resi sebagai bukti penduduk di lokasi lahan tersebut. Alexander Halim juga menjelaskan bahwa semua urusan berkaitan dengan penerbitan SHM merupakan pekerjaan dari Notaris Wenni.
Ketika JPU menanyakan kepada Alexander Halim, bahwa pada tahun 2004, Rudi alias Acay ditetapkan oleh Polres Langkat sebagai tersangka karena menguasai lahan di areal yang berstatus hutan lindung, mengapa Alexander Halim masih mau mengalihkan lahan tersebut menjadi miliknya padahal lahan bermasalah. Alexander Halim memberikan jawaban yang mengambang.
Selanjutnya, JPU juga menanyakan berapa keuntungan yang sudah diperolehnya selama menguasai dan mengelola kebun sawit tersebut, Alexander Halim menjawab tidak tahu dan lupa, dan hanya mengingat bahwa dia rutin membayar dan menyetor kewajiban pajak ke pemerintah/negara.
Keterangan Alexander Halim bertolak belakang dengan yang disampaikan oleh saksi Imran, S.PdI., yang menyatakan bahwa Alexander Halim lah yang memintanya langsung (melalui telepon) untuk menerbitkan Surat Resi atas nama Alexander Halim dan Albert Halim (anak Alexander Halim). Jadi bukan notaris Wenni yang memintanya. Surat Resi tersebut dimaksudkan untuk pengurusan balik nama guna proses penerbitan SHM.
Ketika JPU mempertanyakan mengapa Surat Resi yang beredar bukan hanya dua, tetapi dalam jumlah yang banyak, yang kemudian oleh terdakwa Alexander Halim digunakan dalam pengurusan SHM ? Imran menjawab, bahwa Surat Resi yang diterbitkannya hanya untuk 2 orang saja, bila kemudian beredar dalam jumlah banyak, Imran menduga surat yang diterbitkannya tersebut digandakan dengan memfoto copy dan mengganti nama orangnya.
Saat Majelis Hakim menanyakan Imran, mengapa sebagai pejabat publik dalam penerbitan Surat Resi sebelumnya tidak menelusuri lebih dahulu asal usul dan status lahan apakah bermasalah atau tidak. Imran berdalih segan terhadap terdakwa Alexander Halim, karena sudah mengenalnya sejak orangtuanya masih menjabat sebagai Kepala Desa. Majelis Hakim mengingatkan Imran, agar kedepan berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Usai pemeriksaan kedua terdakwa sekaligus sebagai Saksi Mahkota, Majelis Hakim menunda sidang sampai Senin, 28 April 2025, guna mendengarkan keterangan saksi a de charge (saksi yang meringankan terdakwa) yang akan diajukan oleh penasehat hukumnya.
Sumber : Evansus Renandi Manalu (Analis Tata Usaha) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5