Masyarakat Sekitar SM Mamberamo Foja, Bertahan dalam Ruang Tradisional atau Beranjak ke Modern?

Senin, 02 November 2020

Mamberamo Raya, 30 Oktober 2020. Kepala Balai Besar KSDA Papua, Edward Sembiring, S.Hut., M.Si., bersama tim mengunjungi kawasan konservasi SM Mamberamo Foja. Kunjungan berlangsung pada 27-31 Oktober 2020. Di antara tempat-tempat yang disinggahi adalah Pelabuhan Teba, Kampung Matabori, Yoke, Kapeso, Kasonaweja, Anggreso, Burmeso, Trimuris, dan Bagusa. Edward bersama tim juga mengelilingi Danau Rumbebai yang eksotis, surganya berbagai jenis burung.

Edward dan tim memulai perjalanan dari Jayapura pada Selasa, (27/10) dan tiba di Pelabuhan Teba pada pagi hari Rabu (28/10). Teba, yang terletak di bagian muara Sungai Mamberamo, merupakan tempat persinggahan kapal-kapal dari Jayapura menuju berbagai kabupaten lain di Papua. Kapal Cantika Lestari 77, yang berlayar dari Jayapura ke Kasonaweja, Mamberamo Raya, juga singgah di Teba. Dapat dikatakan, Teba termasuk bagian penting dalam roda perekonomian masyarakat di sekitar muara Sungai Mamberamo.

Seorang pedagang makanan di Pasar Teba menginformasikan, bahwa setiap kapal bersandar, Pasar Teba selalu ramai, baik pagi, siang, ataupun malam. Ia menjual nasi beserta tumis kangkung, dengan pilihan lauk kepiting saus dan ikan somasi (Lutjanus goldiei) goreng. Pedagang itu berasal dari Kampung Yoke, yang jaraknya terbilang cukup jauh dari Teba. Satu-satunya transportasi dari Yoke ke Teba adalah perahu motor.

Berdasarkan peta kawasan konservasi, Kampung Yoke terletak di dalam kawasan SM Mamberamo Foja. Sebagian warganya menggantungkan hidup pada hutan-hutan bakau, yang merupakan habitat kepiting, ikan, dan bia (kerang).

Setelah sarapan di Teba, Edward bersama tim melanjutkan perjalanan ke Kampung Kapeso menggunakan perahu motor. Mereka singgah sejenak di Kampung Matabori dan Yoke untuk menyapa warga setempat dan menyaksikan secara langsung kehidupan di sana. Kampung-kampung di perairan itu menampakkan nuansa tenang dan tenteram. Masyarakatnya terbuka dan ramah menerima tamu dari luar daerah mereka.

Usai bercengkerama, dan sempat pula melihat-lihat tanaman anggrek masyarakat Yoke, Edward bersama tim langsung menuju Kampung Kapeso. Untuk tiba di sana, perahu motor melaju kencang menyusuri Sungai Mamberamo dan percabangannya, kemudian masuk ke Danau Rumbebai yang sangat luas. Di suatu tepi danau itulah Kampung Kapeso berada. Edward bersama tim dijadwalkan bermalam di sana.

Seorang guru Sekolah Dasar di Kampung Kapeso mengatakan, Kapeso tergolong paling maju di antara kampung-kampung lain di sekitarnya. Meski letaknya cukup terisolir, namun Sekolah Dasar di Kapeso dapat berjalan dengan baik. Terdapat enam guru yang mengabdi di sekolah itu, terdiri dari empat guru ASN dan dua guru honorer. Keenamnya aktif mengajar, dan selama masa pandemi mereka tetap beraktifitas di sekolah secara normal.

Rumah-rumah warga di Kapeso tampak seragam, berbentuk panggung rendah dari kayu yang terkesan kokoh. Seperti warga di dua kampung sebelumnya, warga Kapeso juga sangat ramah dan terbuka. Edward dan tim bahkan sempat mengenal beberapa kata dalam bahasa daerah Kapeso, seperti ucapan haci (selamat pagi), hapici (selamat siang), khutes (selamat sore), juga kata lainnya, seperti sawani yang berarti danau dan robyakha yang berarti teratai.

Untuk menengarai segala sesuatu yang asli dari Kapeso, dapat dilihat dari bahasa daerah itu. Bila suatu objek memiliki nama dalam bahasa daerah Kapeso, artinya objek itu telah ada di sana semenjak zaman nenek moyang dahulu. Sebaliknya, bila tak memiliki nama dalam bahasa daerah Kapeso, dapat dipastikan objek itu pendatang baru. Seperti ikan mujair, yang begitu melimpah ruah dan berukuran raksasa di Danau Rumbebai, namun masyarakat tidak memiliki bahasa daerah untuk menyebutnya. Artinya, ikan mujair bukan asli dari Kapeso. 

Nuansa tradisional sangat kentara di Kapeso. Para lelakinya mahir menggunakan panah untuk berburu, sementara para perempuannya tampak sangat tangguh. Sejak matahari belum merekah di ufuk timur, para perempuan Kapeso telah beraktifitas di Danau Rumbebai. Kita dapat menyaksikan mereka mencuci perabot rumah tangga, seperti baskom, wajan, dan sebagainya. Sejak pagi buta mereka bergulir-gulir di jalanan kampung yang asri, dengan menyunggi barang-barang di kepala. Mereka akan saling menyapa setiap berpapasan satu sama lain. Rasanya, tak siapa pun tega mengusik ketenangan tradisional itu. Kehidupan masyarakat di Kapeso telah tampak sempurna, meski tanpa jaringan internet.

Setelah satu malam di Kapeso, Edward bersama tim menuju Kasonaweja. Di sanalah kapal Cantika Lestari 77 bersandar untuk esoknya berlayar kembali ke Jayapura. Hari itu, Kamis (29/10), Edward dijadwalkan mengunjungi Kampung Anggreso di kawasan APL, untuk melihat rencana pembangunan jalan. Dalam kunjungan itu Edward didampingi Kepala Bappeda Mamberamo Raya dan Direktur Yayasan Intsia Papua. Dari Anggresso, mereka menuju Burmeso untuk menyampaikan materi pada lokakarya di Aula Kantor Bappeda Mamberamo Raya.

Lokakarya tersebut bertema "Masyarakat Adat sebagai Pelopor Penyebaran Informasi Fungsi Kawasan Konservasi". Peserta lokakarya terdiri dari berbagai kalangan, mulai penggiat konservasi, aktivis pemuda, tokoh adat, tokoh perempuan, sampai tokoh gereja. Mereka berkumpul di Aula Kantor Bappeda Kabupaten Mamberamo Raya untuk membahas konservasi.

Pada lokakarya tersebut, berbagai pandangan tersampaikan. Sebagian peserta menginginkan percepatan pembangungan di Mamberamo Raya, terutama akses jalan yang menghubungkan antartempat. Mereka menilai transportasi sungai di era ini terlalu mahal dan rumit, bahkan mereka harus bertaruh nyawa setiap melintasi titik-titik tertentu Sungai Mamberamo. Terdapat kesan, bahwa sebagian masyarakat Mamberamo sangat mendambakan kehidupan bernuansa modern, yang serba cepat dan mudah mengakses berbagai keperluan mereka.   

Dalam konteks ini, Edward Sembiring menyampaikan, bahwa pembangunan di Mamberamo Raya memerlukan proses panjang dan berbagai kajian. “Saya tegaskan, bahwa konservasi bukan penghambat bagi pembangunan. Kita menjaga alam ini untuk kesejahteraan manusia, terutama masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Tetapi kita wajib menggunakan prinsip kehati-hatian. Misalnya, pembangunan itu jangan sampai mengganggu habitat satwa di dalam kawasan konservasi,” demikian pernyataan Edward.   

Lantas, apakah sebaiknya masyarakat di Kawasan SM Mamberamo Foja bertahan dengan kehidupan tradisional ataukah beranjak ke dunia modern? Setiap langkah terdapat konsekuensi yang menyertainya. Namun yang pasti, setiap individu menginginkan kehidupan yang nyaman, tenteram, dan bahagia. Sementara konservasi bertindak menjaga dan melestarikan alam semesta, agar manusia dapat hidup sejahtera.

Perjalanan ke Mamberamo Raya telah memberikan banyak kesan. Akhirnya, tiba saat Edward bersama tim kembali ke Jayapura pada pagi hari Jumat, (30/10). Dalam perjalanan pulang, Edward menyinggahi Trimuris dan Bagusa, yang terdapat pelabuhan-pelabuhan kecil, tempat kapal Cantika singgah. Di Trimuris, Edward sempat menikmati ulat sagu bakar, salah satu makanan khas Papua yang memiliki kandungan protein tinggi. Edward bersama tim tiba di Jayapura pada Sabtu, (31/10). Semua agenda telah berjalan lancar, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan di masa pandemi. (djr)

Sumber : Balai Besar KSDA Papua

Call Center      : 0823 9802 9978

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini