Peringati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2019, Kepala Balai Besar KSDA Papua: Sebenarnya Bahasa Konservasi Mengandung Prinsip Kehati-hatian

Selasa, 05 November 2019

Jayapura, 5 November 2019. Telah termaktub dalam sejarah bangsa Indonesia, bahwa setiap tanggal 5 November sejak tahun 1993, bangsa Indonesia memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Pada 5 November 2019, Balai Besar KSDA Papua berkolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait, telah merancang rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan selama bulan November. Ini merupakan bentuk upaya perlindungan terhadap puspa dan satwa, khususnya yang berada di Papua.

Kegiatan HCPSN Balai Besar KSDA Papua, antara lain, dilaksanakan di Timika bersama PT Freeport Indonesia, Balai Taman Nasional Lorentz, Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Timika, TNI/Polri, Usaid Lestari, dan para tokoh masyarakat setempat. Kegiatan dimulai pada Senin (4/11) dengan melakukan sosialisasi tentang Tumbuhan dan Satwa Liar di Radio Publik Timika berdurasi 90 menit. Selain itu, telah dirancang pula kegiatan road show tentang Tumbuhan dan Satwa Liar yang dimulai pada Jumat (8/11) dan berakhir Rabu (20/11). Rencananya road show akan dilaksanakan lima kali di lima tempat yang berbeda, melibatkan pelajar dan komunitas dengan target peserta mencapai 700 orang.

Sejak bulan Januari hingga November 2019, Balai Besar KSDA Papua telah melakukan berbagai kegiatan terkait perlindungan satwa liar. Semuanya merupakan bagian dari kecintaan terhadap puspa dan satwa, baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Kegiatan dimaksud antara lain,

  • Pelepasliaran delapan ekor kasuari gelambir ganda (Casuarius casuarius) pada 20 Februari 2019 di Hutan Iwawa, Kampung Nayaro, Kabupaten Mimika, Papua,
  • Pelepasliaran 32 ekor tukik penyu lekang (Lepidochelys olivacea) pada 4 Juli 2019 di Pantai Base-G, Kampung Kayu Pulau, Distrik Jayapura Selatan, Papua,
  • Pelepasliaran 230 ekor kadal duri mata merah (Tribolonotus gracilis), dua ekor biawak air tawar (Varanus salvator), dua ekor kadal panana (Tiliqua gigas), satu ekor kakatua jambul kuning (Cacatua galerita), dan satu ekor nuri bayan (Eclectus rotatus), pada 10 Agustus 2019 di Kampung Dosay, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura, Papua.

Adapun catatan mengenai puspa atau tumbuhan, Balai Besar KSDA Papua telah memberikan dukungan kepada masyarakat adat di sekitar kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, juga di Merauke, dalam upaya perlindungan dan pelestarian jenis-jenis anggrek. Di sekitar kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, terdapat kelompok petani anggrek di Desa Binaan Konservasi Kwantemey Bonya. Mereka berasal dari tiga kampung, yaitu Maribu Tua, Dosay, dan Waibron, yang termasuk dalam wilayah kerja Resort Moy, Balai Besar KSDA Papua. Secara adat, masyarakat di tiga kampung tersebut memiliki nilai kearifan lokal yang terikat kuat dengan alam. Sikap memelihara dan melestarikan alam, yang dapat dikatakan sebagai model konservasi tradisional masyarakat adat, telah mereka miliki sejak zaman nenek moyang. Namun tuntutan gaya hidup modern dapat saja menggerus nilai-nilai tersebut secara perlahan. Di sini perlu adanya kontrol yang tepat agar pemanfaatan tumbuhan dan satwa dari alam tetap terkendali.

Balai Besar KSDA Papua telah memberikan pendampingan serta surat izin kepada para petani anggrek di Desa Binaan Kwantemey Bonya untuk melakukan penangkaran terhadap 17 jenis anggrek dari Cycloop, di antaranya, anggrek hitam irian (Grammatophyllum stapeliiflorium), anggrek raksasa irian (Grammatophyllum papuanum), anggrek macan (Grammatophyllum scriptum), anggrek karang (Dendrobium bracteosum), anggrek keriting (Dendrobium discolor). Sementara di Merauke, izin penangkaran diberikan kepada masyarakat binaan Taman Nasional Wasur untuk menangkarkan 15 jenis anggrek khas dari Papua bagian selatan.             

Kepala Balai Besar KSDA Papua, Edward Sembiring, S. Hut., M. Si., menyampaikan, bahwa penangkaran jenis-jenis anggrek tersebut dilakukan dalam upaya melestarikan yang masih berada di alam, sekaligus mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Berbagai kegiatan dalam memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tahun 2019, baik yang sudah, sedang, dan akan dilaksanakan, lebih mengarah kepada edukasi untuk masyarakat. Kelestarian puspa dan satwa yang berada di Papua secara khusus, sangat bermanfaat bagi kehidupan. “Contohnya, kita melindungi rusa, kita juga bisa memanfaatkannya secara terbatas. Sekalipun dilindungi, tetapi rusa dijadikan satwa buru yang boleh dimanfaatkan sesuai aturan. Sama halnya dengan buaya, boleh dimanfaatkan tetapi harus terkendali,” demikian kata Edward. Manusia mencintai puspa dan satwa karena komponen-komponen alam tersebut telah memberikan kehidupan yang nyaman bagi manusia. Tanpa cinta dan kepedulian terhadap puspa dan satwa, pada saatnya akan terjadi bencana.

Memungkasi pernyataannya, Edward menyampaikan, “Sebenarnya Bahasa konservasi itu mengandung prinsip kehati-hatian. Kita bisa membedakan, barang yang dilindungi bukanlah barang terlarang. Jadi kita boleh memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar, tetapi harus memegang teguh prinsip kehati-hatian, memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare), ikuti peraturan/prosedur yang ada supaya alam ini tetap seimbang dan terjaga kelestariannya untuk kesejahteraan umat manusia.” (djr)

Sumber            : BBKSDA Papua

Call Center      : 0823 9802 9978 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini