Perlunya Sinergitas Kawasan Konservasi dan Daerah Penyangga sebagai Satu Kesatuan Sistem Penyangga Kehidupan

Jumat, 14 Juli 2017

(Lesson Learned Kasus Banjir Bandang di Kab Garut dan Kab Bandung)

Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, publik dikejutkan dengan adanya peristiwa banjir yang melanda 2 (dua) lokasi berbeda di Provinsi Jawa Barat. Banjir pertama berupa banjir bandang yang terjadi pada tanggal 21 September 2016 di Kabupaten Garut, tepatnya di Desa Haurpanggung dan Desa Sukakarya Kecamatan Tarogong, Desa Paminggir Kecamatan Garut Kota, dan Desa Mulyasari Kecamatan Bayongbong. Bencana ekologis tersebut menyebabkan 33 orang meninggal dunia serta sebanyak 1.112 jiwa mengungsi. Sedangkan kerugian secara ekonomi ditaksir mencapai Rp 288 miliar. Dalam konteks Daerah Aliran Sungai (DAS) wilayah terdampak banjir bandang berada di DAS Cimanuk dan Sub DAS Cimanuk Hulu.

Banjir kedua terjadi di Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung pada tanggal 3 Mei 2017. Banjir tersebut melanda penduduk yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Ciwidey, tepat di sepanjang batas antara dua desa, yaitu Desa Ciwidey Kecamatan Ciwidey dan Desa Tenjolaya Kecamatan Pasir Jambu. Sungai Ciwidey sendiri merupakan bagian Sub DAS Ciwidey, DAS Citarum. Kejadian banjir ini tidak menyebabkan korban jiwa, namun mengakibatkan kerugian material berupa kerusakan rumah dan bangunan.

              

Biasanya, tidak lama setelah bencana banjir melanda, maka yang menjadi sorotan utama adalah instansi yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan di hulu DAS. Pendapat yang muncul hampir pasti mengarah pada anggapan bahwa daerah hulu DAS telah mengalami kerusakan sehingga ketika hujan deras dan cukup lama, air tidak mampu ditahan oleh hutan dan langsung mengalir ke sungai yang kapasitasnya juga terbatas. Tidak mengherankan jika dalam 2 (dua) peristiwa banjir ini Balai Besar KSDA Jawa Barat termasuk instansi yang mendapat ‘label’ negatif karena dianggap tidak mampu mempertahankan keutuhan kawasan hutan yang berada di hulu DAS.

Pertanyaannya adalah benarkah anggapan tersebut? Untuk menjawabnya, Balai Besar KSDA Jawa Barat melakukan sebuah kajian awal berbasis citra satelit yang di-overlay-kan dengan peta Rupa Bumi Indonesia dan peta kawasan konservasi Balai Besar KSDA Jawa Barat, serta peta kawasan hutan Jawa Barat.

Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat diketahui hal-hal sebagai berikut.

  1. Kawasan konservasi yang berada di hulu DAS Cimanuk adalah CA/TWA Papandayan CA Kamojang, dan TWA Gunung Guntur. CA/TWA Papandayan memiliki tutupan lahan yang masih relatif cukup baik. Sementara itu, CA Kawah Kamojang (bagian barat) memiliki tutupan vegetasi relatif utuh, walaupun pada beberapa spot antara cagar alam dengan hutan lindung terdapat aktivitas perambahan yang pada tahun 2017 ini akan dituntaskan. Sedangkan CA Kamojang (bagian timur) dan TWA Gunung Guntur tutupan vegetasinya berupa lahan terbuka. Namun demikian, kawasan konservasi tersebut kurang signifikan berkontribusi terhadap daerah terdampak banjir dikarenakan aliran anak sungai dari CA Kawah Kamojang mengalir setelah aliran terdampak banjir bandang. 
  2. Kawasan konservasi yang berada di hulu DAS Citarum adalah CA Gunung Tilu yang hampir seluruhnya dikelilingi oleh hutan lindung. Kondisi tutupan vegetasi CA Gunung Tilu      masih relatif utuh

                                                            

                                      

Berdasarkan kajian awal tersebut, terungkap bahwa kondisi tutupan lahan kawasan konservasi pada 2 wilayah DAS Citarum dan Cimanuk dalam kondisi relatif baik/utuh dan kualitas air yang keluar dari kawasan konservasi berwarna jernih, mengalir pada anak-anak sungai sepanjang 4 hingga 12 km menuju sungai induk, baik Sungai Cimanuk maupun Sungai Citarum melalui hutan lindung dan hutan lainnya serta areal penggunaan lainnya (termasuk perkebunan). Dengan melihat kondisi tersebut, maka kontribusi kawasan konservasi terhadap kejadian banjir di Garut dan Ciwidey sangatlah minim, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, anggapan bahwa kerusakan kawasan konservasi di hulu DAS Citarum maupun DAS Cimanuk sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir, gugur dengan sendirinya.

Faktor penyebab banjir yang paling utama adalah curah hujan yang sangat tinggi di hulu DAS Citarum dan Cimanuk. Keadaan tersebut diperparah oleh aktivitas pertanian di areal penggunaan lainnya maupun hutan lindung (pembukaan hutan untuk PHBM) yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang berdampak pada terjadinya erosi lateral yang menyebabkan sedimentasi yang tinggi di Sungai Citarum dan Cimanuk.

Oleh karena itu, dalam konteks sinergitas antara kawasan konservasi dan daerah penyangga sebagai satu kesatuan sistem penyangga kehidupan, perlu dilakukan pemulihan ekosistem serta rehabilitasi yang sinergis dengan memperhatikan kesatuan landscape (tata guna lahan) dan interaksi antara kawasan konservasi, hutan lainnya serta area penggunaan lainnya. Peraturan perundang-undangan terkait pemulihan ekosistem juga perlu terus dimantapkan mengingat kegiatan pemulihan ekosistem, khususnya di kawasan Cagar Alam saat ini masih terkendala dari sisi peraturan perundang-undangan, sementara kondisi di lapangan menuntut intervensi manusia (berupa kegiatan restorasi), tidak hanya mengandalkan suksesi alami. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu terus didorong untuk menetapkan daerah penyangga dalam rangka membangun hubungan harmonis antara kawasan konservasi dengan daerah di sekitar kawasan konservasi.

Sumber Info : Balai Besar KSDA Jawa Barat

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Belum terdapat komentar pada berita ini