Rabu, 10 Mei 2017
Padang (10/5/2017). Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) mengadakan pertemuan Analisa Konflik Manusia-Harimau dilaksanakan di Hotel Grand Zuri Padang pada tanggal 10 Mei 2017. Didalam pertemuan tersebut dibahas bahwa konflik manusia-harimau tidak dapat dihindarkan sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya yang sama. Pada banyak kasus, harimau yang terlibat konflik dibunuh oleh warga masyarakat karena telah melukai atau membunuh manusia dan hewan peliharaan. Konflik manusia dan harimau bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia, tetapi juga harimau itu sendiri. Upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta mitra. Pemerintah telah mengatur dalam Permenhut No.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar. Peraturan tersebut mengatur bagaimana cara menanggulangi maupun bertindak dalam konflik. Terbitnya Permenhut No.48/Menhut-II/2008 merupakan realisasi komitmen pemerintah terhadap upaya dalam melestarikan harimau terakhir yang dimiliki Indonesia ini dan dituangkan dalam dokumen “Strategi Konservasi dan Rencana Aksi Harimau Sumatera 2007-2017”.
Dalam pertemuan tersebut, dilakukan Forum Group Discussion (FGD) yang membahas 2 tema yaitu mengenai penyebab konflik serta masalah penanganan konflik dan pasca konflik. Hal ini ditujukan untuk menyamakan persepsi akan kondisi konflik manusia-harimau, sehingga dapat memperoleh solusi bersama dalam mencegah dan menanggulangi konflik tersebut. Berdasarkan hasil FGD mengenai tema penyebab konflik, terdapat beberapa isu-isu yang perlu diperhatikan antara lain beberapa daerah yang belum memiliki SK gubernur untuk penanggulangan konflik, apabila sudah ada pun masih belum berjalan optimal; keterbatasan pemda untuk mengalokasikan dana untuk pengelolaan tumbuhan dan satwa liar; Permenhut No.48 yang belum mengakomodir UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Terkait dengan konflik dan pasca konflik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu pihak-pihak yang terkait dalam penanganan konflik; dana penanganan konflik; tim penanganan konflik; skema kompensasi terhadap kerugian yang disebabkan karena konflik; serta pelaporan dan monitoring pasca konflik. Mengenai skema kompensasi, masih belum adanya acuan besarnya biaya pergantian untuk setiap kerugian maupun pihak-pihak yang perlu berkontribusi dalam kompensasi tersebut. Oleh karena itu, dari diskusi yang dilakukan, perlu adanya review dan peningkatan status hukum Permenhut No. 48 yang disesuaikan dengan kebijakan dan peraturan perundangan yang baru. Diharapkan selanjutnya juga dapat ditetapkan mengenai SOP untuk penanganan konflik serta pelaporan dan monitoring pasca konflik dengan alur yang jelas berdasarkan peraturan pemerintah dan pedoman praktis yang ada.
Pertemuan ini merupakan salah satu langkah agar pencegahan dan penanganan kasus konflik manusia-harimau dapat dilakukan secara seragam dan terstandarisasi di Sumatera. Sehingga, diharapkan penanganan konflik manusia-harimau dapat berjalan dengan lebih baik ke depannya. Turut hadir dalam pertemuan ini unsur pemerintah seperti Kepala Balai Taman Nasional Kerinci-Seblat, Kepala Balai KSDA Sumatera Barat, perwakilan dari Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Balai Besar KSDA Riau, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leusur, Balai KSDA Aceh, Balai KSDA Sumatera Selatan, Balai KSDA Jambi, Balai Taman Nasional Berbak Sembilang, serta unsur LSM, dan mitra dalam konservasi Harimau Sumatera.
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5