Rabu, 06 Juni 2018
Bantimurung, 6 Juni 2018. Baru-baru ini heboh temuan rangka manusia di sebuah gua di Desa Samangki, Simbang, Maros. Rangka itu ditemukan di Leang Jarie yang letaknya tak jauh dari rumah warga.
Leang dalam bahasa lokal (Makassar) yang berarti gua. Leang Jarie berada kaki bukit karst kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Berada di wilayah Resort Bantimurung dalam tata kelola taman nasional.
Di kawasan taman nasional ini sedikitnya terdapat 41 gua prasejarah, dari 440 gua yang telah teridentifikasi. Gua-gua prasejarah ini umumnya masuk dalam zona religi dan budaya kawasan konservasi ini. Oleh Balai Purbakala Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan sendiri telah dipagari sebagai tanda bahwa gua tersebut merupakan gua prasejarah.
Bagaimana asal usul nama gua ini? Saat kami bertandang ke Leang Jarie pada Selasa (5/6), bertemu dengan sang penjaga situs, Irfan (45 tahun). “Nama gua ini berasal dari ciri khas dimiliki yakni banyaknya spot panel lukisan tapak tangan yang ditemukan. Karenanya diberi nama jarie (Bugis) atau jaria (Makassar) yang berarti jari. Lukisan berupa gambar tapak tangan berwarna merah ini adalah lukisan manusia purbakala,” terangnya.
Dengan begitu Leang Jarie berarti gua dengan lukisan jari (tapak) tangan. Ia menambahkan bahwa sejak tahun 1992 Leang Jarie telah diberi pagar kawat oleh BPCB Sulawesi Selatan.
Tak lama berselang, hujan turun saat kami telah berada di teras gua. Kami tak kehujanan karena atap teras Leang Jarie yang menjorok keluar. Melindungi kami dari terpaan air hujan. Menambah keyakinan kami jika manusia pra-austronesia memanfaatkan gua sebagai tempat berteduh. Bahkan bisa jadi sebagai tempat tinggal mereka. Kami membayangkan.
Temuan rangka manusia yang berada di teras Leang Jarie ini merupakan bagian dari penelitian Situs Gua Prasejarah di Wilayah Maros dan Pangkep. Penelitian dilaksanakan selama 40 hari yang terbagi dalam dua tim. Untuk wilayah Maros sendiri dilaksanakan sejak tanggal 3 Mei 2018 lalu.
“Untuk wilayah Kabupaten Maros kami menemukan 26 situs yang tersebar di tiga kecamatan, termasuk Leang Jarie. Hanya saja kondisi beberapa gua sudah memprihatinkan. Pada beberapa situs gua ditemukan di sekitarnya bekas batu gamping terbakar. Hal ini bertanda adanya aktivitas tambang batu pondasi yang dilakukan masyarakat sekitar,” terang Budianto Hakim, selaku ketua tim peneliti situs gua prasejarah Balai Arkeologi Sulawesi Selatan.
“Tersisa 40 persen yang kondisinya masih baik dan perlu dijaga,” tambahnya.
Pada Rabu (23/5) Balai Arkeologi Sulawesi Selatan menggelar focus discussion grup hasil penelitian sementara. Juga sebagai wadah mengumpulkan data dan informasi untuk mendukung hasil temuan awal di Kabupaten Maros.
Hasil yang cukup mencengangkan adalah temuan sisa aktivitas manusia prasejarah di Leang Jarie. “Temuan awal di Leang Jarie berupa gigi manusia. Kemudian kami lanjutkan eskavasi hingga menemukan artefak, kerang laut, dan rangka manusia. Temuan ini terbagi dalam beberapa lapisan. Bukti temuan ini menerangkan tingginya pemanfaatan gua oleh manusia prasejarah yang berkelanjutan dari masa 40.000 tahun yang lalu hingga 2.500 tahun yang lalu,” ujar Budianto.
Rangka manusia yang ditemukan hampir utuh ini adalah temuan pertama kali di wilayah Maros. “Rangka yang kami temukan di Leang Jarie berusia 4.000 tahun yang lalu. Rangkanya masih utuh, hanya batok kepala yang sedikit hancur, namun bagian lain seperti dada hingga kaki masih utuh. Ini adalah temuan besar bagi kami,” pungkas Budianto.
Kita tunggu saja kabar terbaru dari tim peneliti gua parasejarah ini.
“Saat ini kami sedang mengamankan temuan rangka manusia ini. Setelah lebaran akan kami koordinasikan lebih lanjut dengan para ahli baik ahli arkeologi, ahli bioantropology, dan tidak menutup kemungkinan keahlian ilmu lainnya untuk penanganan selanjutnya,” ujar Laode Muhammad Aska, Kepala BPCB Sulawesi Selatan saat mengunjungi Leang Jarie, Kamis (30/5).
“Ke depan kami juga akan lebih intens menyampaikan kepada masyarakat tentang keberadaan gua-gua prasejarah ini. Termasuk nilai penting dan perlunya keterlibatan mereka turut serta menjaga laboratorium alam ini,” tambah Laode Aska.
Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat kami temui, angkat bicara akan temuan rangka manusia ini. “Temuan ini menambah arti pentingnya ekosistem karst. Begitu juga dengan ekosistem karst yang berada di luar kawasan taman nasional merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP). Saat ini telah disatukan melalui penetapan wilayah ini sebagai geopark nasional beberapa waktu lalu,” ujar Yusak Mangetan, Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat kami temui di kantornya, Rabu (6/6).
Sumber : Taufiq Ismail – PEH Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0