Rabu, 01 Maret 2017
Jakarta, 1 Maret 2017. Pada tanggal 28 Februari 2017, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menyelenggarakan Seminar Nasional Konservasi Rakyat di Hotel Menara Peninsula Jakarta. Seminar tersebut dihadiri oleh unsur pemerintah seperti Direktur Kawasan Konservasi – Ditjen KSDAE, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial – Ditjen PSKL, perwakilan dari Ditjen PSKL, Direktorat Penataan Kawasan Konservasi Perairan, unsur akademisi yaitu Prof Dr Hariadi Kartodiharjo (IPB), serta unsur LSM dan Mitra yang tergabung ke dalam jaringan WGII.
Acara yang juga menghadirkan 11 komunitas adat dari berbagai daerah ini, dibuka secara resmi oleh Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur PKPS mewakili Menteri LHK. Dalam sambutannya disampaikan bahwa masyarakat yang sejak dulu tinggal di dalam dan sekitar hutan telah melakukan berbagai praktek pengelolaan hutan dan telah menjadi tradisi serta adat istiadat. Peran sertanya dalam penyelenggaraan konservasi sesungguhnya telah diakomodir dan diatur dalam PP 28 Tahun 2011 jo. PP 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan KSA dan KPA. Pemerintah pun diwajibkan untuk melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pengembangan desa konservasi, pemberian akses pemanfaatan HHBK di zona/ blok tradisional/ pemanfaatan tradisional, fasilitasi kemitraan, serta pemberian ijin usaha jasa wisata alam.
Direktur Kawasan Konservasi yang menjadi salah satu narasumber pun menyampaikan bahwa sejak terbitnya PP 28 Tahun 2011, pengelola kawasan konservasi telah melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat di lapangan tanpa membedakan status dari masyarakat tersebut, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal non-adat.
WGII sebagai koalisi yang peduli pada sistem konservasi oleh masyarakat adat dan lokal, menilai bahwa pengaturan peran serta dan hak masyarakat adat di kawasan konservasi yang sudah ada adalah tidak cukup. Perlu ada pengakuan kearifan lokal dan pemberian hak yang lebih kuat. Untuk itu, WGII mengusung konsep “Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM)” sebagai suatu sistem konservasi yang dilaksanakan oleh masyarakat adat/lokal berdasarkan kearifan lokal atau hukum adat setempat, termasuk perlindungan dan pemanfaatan SDG serta spesies yang berada di dalam wilayah masyarakat adat/lokal yang bersangkutan. “Konsep AKKM tersebut diharapkan juga dapat diimplementasikan di kawasan konservasi tanpa ada batasan kepada masyarakat adat, karena saat ini hutan adat sudah bukan hutan negara lagi”, papar Sandoro Purba yang menjadi narasumber dari WGII. Konsep tersebut diharapkan dapat diakomodir dalam penyusunan RUU Konservasi Keanegaragaman Hayati (Revisi UU 5/90) yang saat ini sedang berproses.
Dalam rangka mendorong hal tersebut, WGII telah menyusun masukan-masukannya untuk RUU KKH dalam sebuah buku. Lebih lanjut, untuk memperkuat masukan tersebut WGII juga telah mendokumentasikan praktik-praktik konservasi oleh masyarakat adat dan lokal di 15 lokasi yang hasilnya dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Jalan Panjang Masyarakat Untuk Konservasi dan Ruang Hidup”. Seminar kemarin menjadi kesempatan bagi 11 mayarakat adat yang terdokumentasikan dalam buku dimaksud untuk menyampaikan testimoni terkait pelaksanaan praktik-praktik konservasi di wilayahnya masing-masing.
Sumber Info : Direktorat KK
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0