Kamis, 28 Januari 2021
Jakarta, 28 Januari 2021. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia telah dilakukan sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Timur. Namun demikian, Pemerintah Indonesia memulai pengelolaan kawasan konservasi secara aktif pada tahun 1980-an. Selama hampir empat dekade tersebut, pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, secara formal belum pernah dilakukan evaluasi secara komprehensif.
Evaluasi sebagai bagian dari siklus pengelolaan menjadi salah satu kunci penerapan sistem pengelolaan yang adaptif. Pengelolaan kawasan konservasi diharapkan mampu beradaptasi dalam rangka merespon dinamika sesuai dengan kondisi lingkungan terkini. Selain itu, melalui aktifitas evaluasi, pengelolaan kawasan konservasi diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, pelibatan parapihak, kerjasama dan berbagi pengetahuan, yang akan bermanfaat bagi pengelolaan kawasan konservasi.
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia secara terprogram dimulai pada tahun 2015, dimana dalam Renstra Kementerian LHK 2015 – 2019 mencantumkan Jumlah kumulatif kawasan konservasi yang memiliki nilai efektivitas pengelolaan minimal 70 pada tahun 2019 sebanyak 260-unit sebagai Indikator Kinerja Utama Kementerian LHK. Dalam melakukan penilaian efektivitas pengelolaan, metode yang digunakan adalah dengan mengadaptasi Management Effectiveness Tracking Tool (METT), dimana dalam implementasinya didasari oleh Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem No. P.12/KSDAE/SET/KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi. Metode tersebut terdiri dari laporan kemajuan situs kawasan konservasi, data ancaman kawasan konservasi, enam elemen penilaian (context, planning, input, process, output, outcome), dan diterjemahkan dalam tiga puluh pertanyaan, dan lembar rekomendasi.
Sepanjang tahun 2015 – 2019 telah dilakukan penilaian efektivitas pengelolaan pada 422-unit dari total 554-unit kawasan konservasi yang ada di seluruh Indonesia. Apabila dihitung dari seluruh kawasan (dari 554 unit kawasan), nilai rata-rata efektivitas pengelolaan KK tahun 2019 adalah 50,12%. Hasil penilaian efektivitas tersebut menginformasikan bahwa ancaman dominan terhadap kawasan antara lain: perburuan satwaliar, pembalakan kayu, kegiatan wisata alam, dan perambahan.
Pada tahun 2020 dilakukan penilaian efektivitas pengelolaan terhadap 132-unit kawasan konservasi yang belum pernah dinilai pada periode 2015 – 2019 untuk dijadikan baseline pengitungan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi tahun 2020 - 2024. Sampai dengan akhir 2020 telah dilakukan penilaian pada 551-unit kawasan (terdapat tiga kawasan yang tidak dapat dilakukan penilaian), dengan hasil nilai rata-rata 60,23%. Hasil penilaian sampai dengan Tahun 2020 tersebut telah ditetapkan melalui SK Dirjen KSDAE No: SK.4/KSDAE/KK/KSA.1/1/2021 tentang Penetapan Nilai Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi sampai dengan Tahun 2020. SK.4 Penetapan Nilai Efektivitas Pengelolaan KK sampai dengan tahun 2020 (Click SK).
Untuk penilaian efektivitas pada periode 2021 s/d 2024, saat ini sedang dibahas metode dan tata cara penilain yang akan ditetapkan dalam Peraturan Menteri LHK dan Perdirjen KSDAE. Salah satu catatan penting yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan metode dan tata cara penilaian adalah bahwa, metode penilaian ke depan adalah metode yang mampu mengadaptasi karakter pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dan meminimalkan gab antara hasil penilaian dan kondisi faktual di lapangan. Hal ini untuk memastikan bahwa hasil akhir ada di lapangan, bukan di atas kertas.
Sumber : Direktorat Kawasan Konservasi
Foto by Simon Onggo - Biro Hubungan Masyarakat KLHK
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0