Sikerei di Desa Matotonan

Jumat, 11 Desember 2020

Padang, 11 Desember 2020. Desa Matotonan merupakan salah satu desa yang sebagian wilayah administrasi berada di dalam kawasan Taman Nasional Siberut. Masyarakat Desa Matotonan merupakan kelompok masyarakat yang masih memegang dan menjaga kelestarian adat istiadat Suku Mentawai hingga saat ini. Dalam proses sosial sehari-hari, keberadaan Sikerei menjadi salah satu bagian yang tak dapat dihilangkan dan dipisahkan, terlebih dalam hal pelaksanaan ritul-ritual kepercayaan, adat istiadat, pengobatan dan lainnya. Hal ini menjadikan sosok Sikerei menarik untuk diketahui dan dipahami. Untuk menjadi seorang Sikerei ada banyak hal yang harus dipenuhi. Hal-hal tersebut antara lain syarat-syarat menjadi Sikerei, tahapan menjadi seorang Sikerei dan pantangan “kei-kei “ bagi seorang Sikerei. 

Belakangan ini jumlah pertambahan Sikerei di Desa Matotonan kian berkurang. Hal ini disebabkan beberapa hal, seperti kurangnya ketertarikan kaum muda yang sudah mengalami perkembangan zaman, sulitnya syarat yang harus dipenuhi dan adanya kebiasaan berpantang bagi seorang Sikeri yang memiliki sangsi besar sehingga ditakuti oleh para kaum muda. Di satu sisi hal ini menjadi tantangan bagi sosial masyarakat adat, mengingat Sikerei merupakan bagian dari kekayaan adat yang dimiliki masyarakat Mentawai terkhusus Desa Matotonan.

Dirunut dari sejarahnya, masyarakat Desa Matotonan mempercayai bahwa Si Kerei berawal dan diperkenalkan oleh seorang leluhur yang bernama Simalinggai, yang kemudian diturunkan kepada Sipageta sabbau. Dilihat dari sumber katanya, Sikerei berasal dari kata Si Kerei yang berarti dia yang berasal dari SAREREKEIT HULU (Sarereiket hulu merupakan nama sebuah kampung). Dalam pemahaman masyarakat umum Sikerei identik dengan makhluk halus.  Bagi mereka para Sikerei adalah kelompok orang-orang yang ahli melakukan komunikasi dengan mahluk halus. Proses komunikasi antara seorang Sikerei dengan mahluk halus disebut dengan bahasa ”buimajojo ukkui”, bahasa ini hanya dapat dipahami oleh para Sikerei. Dicermati dari arti katanya, buimajojo ukkui bermakna jangan tergesa-gesa dengan kepercayaan pada mahluk halus pada saat melakukannya.

Penetapan seseorang menjadi Sikerei bersumber dari tiga cara, yakni: kemauan diri sendiri, perintah dari orang tua dan leluhur, dan karena sakit (dalam keyakinan mereka ini adalah bentuk panggilan dari roh para leluhur untuk menjadi seorang Sikerei). Terkhusus bagi mereka yang ditunjuk oleh leluhur/orang tua dan mereka yang disembuhkan penyakit tertentunya oleh Sikerei, mereka wajib untuk menjadi Sikerei dan harus memenuhi syarat dan proses-prosesnya. Mereka meyakini apabila hal tersebut tidak dijalankan dan dipatuhi, akan datang kutukan dan malapeta yang menimpa orang tersebut. Berbeda dibandingkan mereka yang menjadi Sikerei karena keinginanya sendiri, yang bersangkutan cukup hanya menjalankan aturan-aturan serta menghindari pantangan-pantanyannya (kei-kei). Adapaun pantangan-pantangan (kei-kei) yang wajib dijauhkan oleh seorang Sikerei yakni, selama dalam proses Kerei tidak boleh bersetubuh bahkan dengan istri, tidak boleh makan sembarang waktu (ada aturan waktu sesuai ritual), tidak boleh memakan owa Mentawai (Bilou atau Simabilau) dan ikan panjang (belut).

Untuk menjadi seorang Sikerei, seseorang harus melaksanakan upacara adat atau yang disebut dengan Lia, sebelum sampai kepada pelaksanaan upacara tersebut, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya tersebut  antara lain, seorang calon Sikerei harus memiliki banyak ternak babi yang dipelihara, memiliki umur minimal 40 tahun, sanggup mematuhi aturan Kerei dan menjahui pantangannya yakni kei-kei. Selanjutnya setelah syarat- syarat tersebut terpenuhi, ada proses yang disebut kerei yang juga harus dipenuhi oleh seorang calon Sikerei. Pelaksanaan Kerei diawali dengan Menyagu (mengolah sagu), kemudian Luluplup, Ulainok, Ugettek, Uogbug, dan diakhiri dengan pasigabah iba. Dalam pelaksanaan tahapan-tahapan tersebut ada beberapa alat-alat yang digunakan. Alat-alat yang digunakan tersebut adalah kabit (proses pembuatannya disebut dengan panaslah), Salipak dan Bakluh, Talatak, Tetekuk, Luat, Singenyet, Sibodhag, Lai-lai,  Lekkau, Sabot Kerei, Sineibag dan Ngalou.

Sumber: Christovorus Sintong Situmorang, S.Hut - PEH Balai Taman Nasional Siberut

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini