Senin, 27 Juli 2020
Tahun 2010 adalah fase dimana kehidupan saya sepenuhnya berubah 1800, hal itu terjadi dikarenakan saya lulus ujian pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Departemen Kehutanan. Jabatan saya adalah Calon Penyuluh Kehutanan Ahli dengan penempatan di Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional (TN) Wasur. Sesuai instruksi dalam Surat Perintah Tugas, maka saya meninggalkan Kota Yogyakarta menuju Kota Rusa julukan bagi Kota Merauke, sebuah kota kecil di ujung timur paling bawah pada peta Kepulauan Papua. Hari demi hari saya lalui bersama-sama dengan rekan-rekan CPNS angkatan tahun 2009 dengan selalu rajin berkantor di Kantor Balai TN Wasur. Sekitar dua hingga tiga bulan bekerja di Kantor Balai TN Wasur, kemudian turun surat perintah dari Kepala Balai TN Wasur untuk mendistribusikan saya dan beberapa rekan CPNS angkatan 2009 ke Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah lingkup Balai TN Wasur. Kawasan TN Wasur dibagi menjadi tiga pengelolaan wilayah yaitu SPTN Wilayah 1 Agrindo dengan luas wilayah kelola 86.269,948 Ha, SPTN Wilayah 2 Ndalir dengan luas wilayah kelola 139.190,352 Ha, dan SPTN Wilayah 3 Wasur dengan luas wilayah kelola 205.964,82 Ha. Penugasan ke level wilayah merupakan tugas yang sangat menantang bagi saya dan rekan-rekan saat itu, karena saya dan rekan-rekan yang biasa bekerja dan berkumpul bersama di Kantor Balai TN Wasur harus mulai menentukan arah karir dengan mengikuti perintah dan arahan dari masing-masing Kepala SPTN. Ketiga wilayah pengelolaan SPTN tersebut memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda, baik dari segi kesukuan, perilaku, sifat, dan taraf pendidikan masyarakatnya.
Saya mendapat penempatan tugas dari Kepala Balai TN Wasur saat itu untuk bergabung dalam tim SPTN Wilayah 3 Wasur. Tugas pertama saya saat itu adalah melakukan inventarisasi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di Kampung Yanggandur. Kampung Yanggandur didominasi oleh masyarakat Suku Kanume, dimana Suku Kanume merupakan pemilik ulayat terluas di dalam kawasan TN Wasur dengan pengakuan kepemilikan ulayat seluas 305.710,676 Ha. Potensi yang dimiliki oleh Kampung Yanggandur adalah buah kemiri, buah merah, minyak kayu putih, dan lain sebagainya.
Saya bersama kedua rekan saya yang merupakan Calon Polisi Kehutanan menginap selama lima hari di rumah Kepala Kampung Yanggandur. Pagi hari hingga sore hari kami bertiga melakukan anjangsana door to door (dari rumah ke rumah) warga Kampung Yanggandur untuk melakukan survei potensi sosial ekonomi masyarakat dengan panduan tallysheet yang sudah saya rancang sendiri. Kami melakukan survei di hampir semua rumah warga, namun tak semua warga bisa kami jumpai saat itu karena warga Kampung Yanggandur sudah beranjak pergi masuk ke hutan sejak pagi untuk mencari satwa buruan sebagai bahan makanan keluarga mereka. Kami juga mendapati salah seorang warga yang sedang mabuk ketika kami mengunjungi rumahnya untuk melakukan survei dan dengan suara keras warga tersebut berbicara tidak tentu arah sehingga kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan dengannya.
Saya juga bertemu dengan seorang bapak tua yang dijuluki Ondo Afi, Ondo Afi semacam julukan bagi seseorang yang dituakan dan dianggap mampu menyembuhkan berbagai penyakit secara adat/tradisional Suku Kanume. Ondo Afi saat itu yang saya jumpai adalah Bapak Kasimirus Sanggra. Saya juga bertemu dengan seorang Polisi Adat yang bernama Bapak Yulius Gelambu. Polisi Adat merupakan penegak hukum adat di Kampung Yanggandur, apabila ada warga Kampung Yanggandur yang melanggar hukum adat maka Polisi Adat akan membawa warga tersebut untuk disidang secara adat agar mendapatkan vonis hukuman secara adat. Saya juga bertemu dengan Bapak Pascalis Kaize yang merupakan salah seorang pemilik dusun di wilayah Kampung Yanggandur. Pada suatu saat nanti, Bapak Pascalis Kaize akan menjadi local guide yang mendampingi 12 turis asing dari Negara Rusia yang datang mengunjungi TN Wasur.
Ondo Afi, Kepala Kampung Yanggandur (Yeremias Ndimar), dan Pascalis Kaize
Secara umum saya menilai masyarakat Suku Kanume yang berdomisili di Kampung Yanggandur memiliki sifat keramahan dan mudah untuk diajak berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Kampung Yanggandur pada akhirnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem sebagai Desa Binaan Balai TN Wasur pada tahun 2016. Dengan produk unggulan utama yaitu minyak kayu putih yang pada saat itu ada sekitar tiga warga pendatang yang menetap di Kampung Yanggandur yang kemudian mereka bertiga menjadi penggerak warga masyarakat Kampung Yanggandur dalam menggerakan roda usaha penyulingan minyak kayu putih. Sebagian besar para pencari dan pemungut daun kayu putih adalah para kaum ibu-ibu Suku Kanume yang secara berkelompok melakukan perjalanan masuk ke dalam dusun (area vegetasi) yang ditumbuhi jenis pohon Asteromyrthus symphiocarpa yang dipungut daunnya untuk disuling agar menghasilkan minyak kayu putih. Kaum bapak-bapak Suku Kanume biasanya lebih gemar untuk berburu satwa liar seperti babi hutan, kasuari, wallaby, dan rusa. Kaum bapak-bapak biasanya diikuti dan dibantu oleh sekawanan anjing pemburu peliharaan mereka yang sangat setia kepada tuannya. Perburuan tradisional yang dilakukan oleh kaum bapak-bapak Suku Kanume dengan menggunakan busur, panah, tombak, dan terkadang juga menggunakan parang panjang dengan label Tramontina.
Ateng seorang pendatang yg menjadi penyuling MKP
Selama tiga hari bersama Kepala Kampung Yanggandur dan juga berinteraksi dengan warga masyarakat Suku Kanume, membuat saya saat itu yakin bahwa saya pasti bisa melakukan kegiatan penyuluhan kehutanan dengan warga masyarakat Kampung Yanggandur dan bahkan warga masyarakat di kampung-kampung yang lain. Saya juga sempat mempelajari bahasa lokal / bahasa Suku Kanume yang merupakan bahasa sehari-hari yang biasa digunakan oleh mereka. “Nameye yekinem” yang berarti selamat pagi, “Nameye koncopor” yang berarti selamat siang, “Nameye baror” yang berarti selamat sore, “Nameye mi” yang berarti selamat malam, dan masih banyak lagi kosa kata yang telah dipelajari dan dicatat oleh saya. Dan semenjak pertemuan pertama dengan masyarakat Suku Kanume yang berdomisili di Kampung Yanggandur tersebut merupakan permulaan yang baik bagi kisah perjalanan karir saya sebagai Penyuluh Kehutanan sampai sekarang. (EH).
Sumber : Eka Heryadi, S.Hut./Penyuluh Kehutanan Muda Balai TN Wasur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0