Penanganan Konflik Warga 2 Desa Dengan Buaya di Madina

Senin, 28 Maret 2022

Kepala SKW V beserta staf dan warga memasang papan himbauan/peringatan untuk penanganan konflik warga dengan buaya di Desa Banjar Aur Utara

Sinunukan, 28 Maret 2022. Trauma masyarakat Desa Banjar Aur Utara, Kecamatan Sinunukan, Kabupaten Mandailing Natal atas peristiwa penyerangan yang dilakukan satwa liar jenis Buaya terhadap warga, pada bulan Agustus 2021 yang lalu, saat melakukan aktivitas di sungai sekitar pemukiman, sehingga menimbulkan luka cedera pada tubuh seorang anak (lihat gambar), masih terus berbekas. Oleh karena itu untuk menghindari terulangnya peristiwa yang sama, Balai Besar KSDA Sumatera Utara melalui Seksi Konservasi Wilayah V Sipirok pada Bidang KSDA Wilayah III Padangsidimpuan, bersama dengan warga sekitar memasang papan himbauan yang berisi peringatan kepada warga untuk waspada dan berhati-hati beraktifitas di sekitar sungai, pada Jumat 25 Maret 2022.

Dua warga  Desa Banjar Aur Utara korban serangan buaya pada bulan Agustus 2021 yang lalu

Pada saat yang bersamaan, pemasangan papan himbauan juga dilakukan di desa tetangga, yaitu Desa Muara Pertemuan, Kecamatan Sinunukan, mengingat desa ini pun rawan konflik dengan buaya, dimana pada bulan September 2020 yang lalu, buaya  juga menyerang warga di desa tersebut.

Masyarakat di kedua desa sehari-harinya  menggunakan sungai untuk aktifitas MCK, dengan merajut beberapa bambu menjadi rakit, lalu mengikatnya ke pohon-pohon yang ada di pinggiran sungai. Di atas rakit bambu yang disebut juga dengan ramben inilah, warga melaksanakan aktfitasnya. Karena ramben mengapung di atas air, sangat memungkinkan untuk diserang oleh buaya yang tiba-tiba muncul dari sungai, mengingat sungai tersebut merupakan habitatnya.

Ramben tempat warga beraktifitas MCK

Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Tim Seksi Konservasi Wilayah V, dengan mengumpulkan sejumlah informasi dari kepala desa maupun tokoh masyarakat yang sudah berdomisili sejak tahun 1993, didapat keterangan bahwa 6 tahun terakhir ini sungai tersebut menjadi keruh dan tidak pernah lagi jernih. Dalam kurun waktu 6 tahun belakangan ini kerap pula terjadi konflik dengan satwa buaya, dimana sebelumnya mereka hidup damai, karena itu merupakan salah satu kearifan lokal di desa tersebut.

Masih menurut perkiraan tokoh-tokoh masyarakat, kemungkinan konflik dengan satwa buaya ini terjadi karena dampak dari pencemaran air dan kerusakan di bantaran sungai. Di hulu sungai sekarang ini semakin marak adanya aktifitas  penambangan emas yang kebanyakan dilakukan secara illegal,  sehingga ini berpengaruh langsung terhadap kehidupan ikan dan satwa yang ada di sungai, termasuk di dalamnya buaya.

Penanganan konflik yang dilakukan oleh Seksi Konservasi Wilayah V Sipirok, tidak hanya sebatas pemasangan papan himbauan, tetapi juga melakukan upaya-upaya lainnya, seperti : berkoordinasi dan mengedukasi kepala desa serta perangkatnya untuk mengajak warga mengurangi aktifitas di sekitar sungai, mengingatkan warga bahwa buaya juga merupakan satwa liar yang dilindungi oleh karena itu dihimbau untuk tidak melakukan perbuatan atau tindakan yang dapat membahayakan bukan hanya bagi diri warga tetapi juga bagi satwa, serta aktif berkomunikasi dan  berkoordinasi dengan unsur Camat, Kepolisian serta Koramil setempat dalam penanganan konflik di lapangan.

Kepala Desa Muara Pertemuan memasang papan himbauan yang sama dan berdampingan dengan papan himbauan dari Balai Besar KSDA Sumatera Utara

Sumber : Muslim Surbakti, Balai Besar KSDA Sumatera Utara

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini