Senin, 03 Februari 2020
Lembata,31 Januari 2020. Mungkin judul di atas sedikit provokatif tetapi sekaligus menjadi titik balik refleksi atas kejadian traumatis nan tragis yang menimpa saudara Yohanes Suku Odel atau Jono, yang kehilangan nyawa akibat diterkam buaya di sekitar perairan Natu, Desa Mahal II, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.
Kejadian yang konon berulang dan memakan korban jiwa ini seolah diabaikan masyarakat setempat. Atau barangkali kisah mitologi yang dibangun secara historis verbal, membuat masyarakat tak berdaya mengatasi predator yang terhitung sudah menghabisi empat sampai lima nyawa manusia dalam beberapa tahun terakhir ini.
Legenda yang dipercayai masyarakat Kedang di Lembata bahwa buaya adalah nenek moyang bagi ini perlu ditelisik sumber kebenarannya, mengingat kisah ini diwariskan secara verbal tanpa sebuah runutan historis yang jelas sehingga ketika binatang buas ini kembali memangsa korbannya (manusia), masyarakat seakan tak berdaya dan menerima kejadian ini sebagai "tulah" atas perbuatan sang korban atau keluarganya.
Kejadian yang menimpa Saudara Jono ini harus menjadi momentum untuk kembali melihat hubungan manusia dan lingkungan sekitar dengan menggunakan pendekatan rasional. Barangkali buaya kini kehilangan tempat tinggal serta kekurangan pakan sebagai akibat dari ulah manusia yang merambah tempat huniannya. Atau barangkali masyarakat terlanjur terpolarisasi dengan kisah mitologi (buaya = nenek moyang) sehingga kekurangan literatur untuk memahami karakteristik buaya muara (Crocodylus porosus) yang menghuni perairan sekitar Natu sampai Atenila yang konon adalah predator terbesar, terpanjang, dan terganas dibanding dengan spesies buaya lainnya.
Mencermati habitat buaya muara yang hidupnya di sungai dan laut dekat muara, seharusnya membuat masyarakat lebih waspada ketika beraktivitas di sekitar perairan Natu hingga Atenila. Selain berkarakter ganas, Buaya muara jantang cenderung hidup sendiri (soliter) dan mempunyai daerah teritori yang lebih luas dibanding betina. Buaya jenis ini sering merendam hampir seluruh badannya dalam air, tanpa mengganggu pernapasan dan penglihatannya sebab lubang hidung dan mata terletak pada sisi atas kepala.
Butuh penanganan serius dari semua elemen, baik pemerintah dalam memberi edukasi tentang karateristik buaya muara yang sangat berbahaya ini, atau melalui Badan Konservasi Budaya Alam, untuk melakukan upaya penangkaran, maupun menggunakan pendekatan kontekstual melalui para tokoh masyarakat serta tetua adat Kedang yang menyandarkan diri para prosesi ritual adat.
Buaya muara dengan statusnya namun menjadi momok bagi manusia ditunjukkan dengan berulangnya kejadian konflik di antara kedua spesies ini merupakan tantangan bagi Balai Besar KSDA NTT selaku lembaga pemerintah yang berwenang terhadap tumbuhan dan satwa liar dilindungi. Unit Penanganan Satwa (UPS) atau Wildlife Rescue Unit (WRU) yang dibentuk Balai Besar KSDA NTT adalah ujung tombak penanganan konflik satwa liar termasuk buaya dengan manusia. Kiprahnya sudah tak terbantahkan lagi dari patroli pada habitat buaya, evakuasi buaya dan satwa lainnya dari area konflik, sosialisasi satwa liar kepada masyarakat, hingga penyampaian santunan kepada keluarga korban.
Untuk peristiwa di Lembata kali ini, Balai Besar KSDA NTT menurunkan tim UPS yang beranggotakan David Mata, Fendy Bagus Susanto, Alfons Sido, dan Silvester Daton Boro. Keempatnya bersama personil SKW IV Maumere mengemban misi untuk mengevakuasi buaya di lokasi konflik, sosialisasi kepada masyarakat dan parapihak, serta menyampaikan santunan kepada keluarga korban sebagai wujud kepedulian Balai Besar KSDA NTT.
Jono, adalah refleksi atas kisah traumatis nan tragis tentang buaya, sang Nenek Moyang yang tega memisahkan cucu dari keluarga dan handai taulannya. Sejarah seyogyanya menjadi pelajaran untuk menatap masa depan yang lebih baik. Menangani konflik buaya dengan manusia membutuhkan pendekatan yang manusiawi dengan menyentuh sisi antropologi sekaligus konservasi sumber daya alam dan ekosistem, serta membutuhkan peran parapihak bersama-sama.
Selamat jalan Saudara Jono, Engkau kembali ke pangkuan Ilahi dengan cara yang berbeda, cara yang mungkin dirancang oleh-Nya, namun tak sanggup kami selami.
Sumber: Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0