Senin, 15 Juli 2019
Sidoarjo, 14 Juli 2019. Balai Besar KSDA Jawa Timur akan melepasliarkan 6 ekor Komodo (Varanus komodoensis) ke Taman Wisata Alam Riung 17 Pulau, Kab. Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Keenam komodo tersebut hasil operasi Bareskrim Mabes Polri dan Ditreskrimsus Polda Jatim pada Februari yang lalu. Untuk proses pelepasliarn ini, BBKSDA Jatim bekerjasama dengan beberapa stakeholder seperti BBKSDA Nusa Tenggara Timur, dan Komodo Survival Program.
Semua itu disampaikan saat Konferensi Pers Pelepasliaran Komodo bersama Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Ir. Wiratno, M.Sc. di Sidoarjo, 12 Juli 2019. Menurut Nandang Prihadi, Kepala BBKSDA Jatim, saat ini proses menuju pelepasliaran telah melalui beberapa uji, salah satunya uji morfologi.
“Keenam komodo ini secara morfologi bukan berasal Taman Nasional Komodo, namun dari Flores Utara. Ini dapat dilihat dari warna tubuh yang lebih terang dan ramping dibanding yang berada di TN. Komodo,” ujar pria berkacamata ini.
Hal tersebut juga didukung dari hasil tes DNA dan uji darah yang telah dilakukan di Laboratorium LIPI. Dimana hasilnya menunjukkan bahwa keenam komodo berjenis kelamin betina dan haplotipe-nya 88% mirip dengan komodo yang berasal dari Flores Utara.
Prosedur pelepasliaran yang dilakukan telah sesuai dengan standar IUCN, seperti persetujuan pelepasliaran dari Direktur Jenderal KSDAE pada 24 April 2019, persetujuan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, dan proses habituasi yang akan dilakukan di Pulau Ontoloe, TWA. Riung 17 Pulau nanti. Pun demikian dengan pemeriksaan kesehatan oleh Karantina Hewan telah dilakukan, serta telah diterbitkannya Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) untuk menuju ke lokasi pelepasliaran.
“Selama pengangkutan ke lokasi, keenam komodo akan dikawal oleh petugas BBKSDA Jatim, dokter hewan yang menanganinya, serta didampingi dari Komodo Survival Program,” tambah Nandang.
Pulau Ontoloe sendiri dipilih menjadi lokasi pelepasliaran karena berada di Flores Utara yang sesuai dengan hasil uji DNA Komodo. Pulau seluas 397 hektar ini merupakan habitat Komodo, juga bagian dari TWA. Riung 17 Pulau yang dikelola oleh BBKSDA NTT sehingga dari faktor keamanannya lebih terjamin.
Menurut Wiratno, Komodo di Flores Utara banyak yang berada di luar kawasan konservasi, seperti hutan lindung, lahan masyarakat, dan kawasan lainnya. Untuk itu Ditjen KSDAE yang dipimpinnya sedang mendorong terbentuknya Kawasan Ekosistem Esensial yang akan dikelola oleh pemerintah daerah. Namun KSDAE tetap melakukan pendampingan dalam pengelolaannya.
“Sehingga Komodo-komodo tidak menjadi target perburuan dan perdagangan, dengan tidak lupa penegakan hukum tetap terus dilakukan,” serunya.
Microchip
Disinggung mengenai pemasangan microchip pada tubuh keenam Komodo, Nandang menjelaskan bahwa pemasangannya dibantu oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Dan ia menjamin bahwa keberadaan microchip tersebut tidak akan mengganggu pergerakan tubuh Komodo.
Hal ini diamini Drh. Lita, bahwa pemasangan microchip tak akan mengganggu gerak dan kesehatan satwa, karena dipasang dibawah kulit. Itu dilakukan untuk penandaan, dan sangat lumrah dilakukan oleh Lembaga Konservasi dan penangkaran satwa.
Deni dari Komodo Survival Program juga menjamin bahwa keberadaan microchip tidak akan mengganggu pergerakan Komodo, karena ukurannya hanya sebesar bulir padi dan dipasang pada Subkutan atau diantara otot dan kulit.
“Fungsi microchip tadi selain untuk penanda, juga untuk memantau keberadaan Komodo itu sendiri, serta untuk mengetahui pola pertumbuhan Komodo,” ujar pria yang telah melakukan tagging pada lebih dari 1000 ekor Komodo di TN. Komodo ini.
11 – 12 Juta Rupiah Per Ekor
Kasus penyelundupan dan perdagangan Komodo saat ini telah masuk proses persidangan pemeriksaan saksi dan terdakwa. Seperti yang disampaikan Dini, dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur terkait status hukum penyelundupan Komodo tersebut.
Menurut Dini, para terdakwa memasukkan Komodo ke Jawa Timur melalui jasa ekspedisi secara illegal dengan cara memasukkannya ke dalam suatu tabung. Kemudian satwa-satwa itu dipromosikan melalui facebook dan whatsapp.
“Komodo-komodo ini diperjualbelikan dengan harga antara 11 – 12 juta per ekor. Dan para terdakwa terancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda paling tinggi 100 juta,” imbuh wanita berhijab ini.
Sebelum dilepasliarkan, semua Komodo akan menjalani masa habituasi selama 1 -2 minggu di lokasi yang telah disiapkan pihak BBKSDA NTT. Setelah dirasa siap, baru seluruh Komodo dilepasliarkan. Pulau Ontoloe sendiri telah dipasang kamera trap pada 8 lokasi untuk memantau pergerakan komodo.
Keenam Komodo akan memulai perjalanannya pada Minggu pagi (13/07) melalui Bandara Internasional Juanda menuju Labuhan Bajo. Dari sini, akan dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju ke Kabupaten Ngada, Flores. Baru, menggunakan perjalanan laut menuju Pulau Ontoloe.
Sobat, bagitu mahal dan rumit harga sebuah konservasi dan kelestarian bagi satwa liar. Untuk itu mari kita ikut menjaga kelestariannya dengan tidak membeli satwa liar, apalagi sampai memperdagangkannya. Semoga keenam Komodo yang dilepasliarkan dapat beradaptasi dengan rumah barunya, dan berkembangbiak dengan baik.
Sumber : Agus Irwanto - Balai Besar KSDA Jawa Timur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0