Kamis, 04 Juli 2019
Yogyakarta, 2 Juli 2019. Program Man and Biosphere (MAB) UNESCO Indonesia pada tahun ini mengusulkan 3 Cagar Biosfer (CB) baru, diantaranya CB Merapi – Merbabu – Menoreh, Karimunjawa-Jepara dan Raja Ampat. Demi menunjang program tersebut, maka dilaksanakan audiensi pada hari Selasa, 2 Juli 2019 di Kompleks Kepatihan D.I Yogyakarta yang dipimpin Prof Enny Sudarmonowati, selaku Ketua Komisi Nasional MAB Indonesia/Presiden MAB UNESCO dan didampingi Prof Purwanto (Peneliti Senior LIPI), Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan D.I.Yogyakarta, Kepala Bappeda D.I Yogyakarta, Kepala Dinas Pariwisata D.I Yogyakarta, Kepala BTN Gunung Merapi, Plt Kepala BTN Gunung Merbabu, dalam hal ini Kepala BKSDA D.I Yogyakarta.
Prof Enny melaporkan usulan kawasan Merapi-Merbabu-Menoreh sebagai Cagar Biosfer dan dilanjutkan dgn paparan singkat dari Prof Purwanto tentang program dan pengelolaan Cagar Biosfer, kepada Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Usulan CB Merapi-Merbabu-Menoreh (CB M3) mencakup 2 Provinsi (D.I Yogyakarta & Jawa Tengah) serta 9 kabupaten dan akan menjadi Cagar Bisofer pertama yang dimiliki DIY dan Jawa Tengah. Sebagai Zona inti CB M3 adalah kawasan TN Gunung Merapi, TN Gunung Merbabu dan Suaka Margasatwa (SM) Sermo. Untuk meloloskan usulan CB tersebut dibutuhkan dukungan semua pihak termasuk dari Gubernur DIY. Harapannya usulan CB M3 dapat disetujui pada sidang ICC MAB tahun 2020.
Bapak Gubernur D.I Yogyakarta sangat antusias dan menyambut baik usulan CB M3. Beliau mengingatkan hal-hal ssebagai berikut : (1) pentingnya sosialisasi dan dialog mengingat banyaknya masyarakat yang tergantung pada kawasan konservasi, (2) masih adanya ego sektoral di wilayah yang diusulkan sebagai CB M3, (3) terjadinya kerusakan lingkungan yg berdampak pada berkurangnya sumber air di wilayah Merapi, (4) masih adanya masyarakat yg tinggal di zona merah/ zona rawan bencana merapi.
Kemudian sebagai penutup, Kepala Bappeda D.I Yogyakarta mengajak untuk menindaklanjuti arahan dari bapak Gubernur DIY dan segera menyusun action plan CB M3.
Cagar Biosfer (CB) merupakan konsep pengelolaan suatu kawasan yang ditujukan untuk mengharmonisasikan antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati, sosial budaya dan ekonomi yang berkelanjutan dengan dukungan logistik yang cukup. CB ditetapkan berdasarkan proses yang panjang, hingga kemudian ditetapkan oleh United Nations Education Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Penerapan konsep CB diharapkan dapat mewujudkan kawasan biosfer sebagai model kawasan pembangunan berkelanjutan yang mesinergikan tiga aspek, yaitu (1) aspek ekologi yaitu aspek konservasi sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, (2) aspek ekonomi yang memanfaatkan dan meningkatkan nilai sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan, dan (3) aspek sosial budaya yang mengembangkan sumber daya manusia yang mempunyai visi ke depan dalam mengelola, memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan ekosistemnya secara berkelanjutan.
Prinsip pengelolaan CB adalah kolaborasi yang melibatkan antar pihak diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian terkait, LIPI, Program Man And Biosphere United Nations Education Educational, Scientific and Cultural Organization (MAB UNESCO), Pemerintah Daerah setempat, Perguruan Tinggi, masyarakat adat dan komunitas bisnis dan LSM.
Pengelolaan suatu CB dibagi menjadi 3 zona yang berhubungan, yaitu : (1) area inti (core area), yaitu kawasan konservasi atau kawasan lindung dengan luas yang memadai, mempunyai perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, (2) zona penyangga (buffer zone), yaitu wilayah yang mengelilingi area inti dan teridentifikasi, untuk melindungi area inti dan dampaknya negatif kegiatan manusia. Dimana hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi yang dapat dilakukan, (3) area transisi (transition zone), wilayah terluar dan terluas yang mengelilingi atau berdampingan dengan zona penyangga. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan model-model pembangunan berkelanjutan dipromosikan dan dikembangkan.
Harmonisasi atau keselarasan pengelolaan di dalam zona dan antara zona, antara Pemerintah Pusat, Daerah dan masyarakat serta pihak-pihak lainnya (swasta dan akademisi) menjadi kekuatan dari CB untuk mewujudkan kawasan konservasi juga memberikan perlindungan dan sukses dalam melakukan pengawetan keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas secara ekonomi dan sosial budaya.
Suatu kawasan dapat diajukan sebagai kawasan CB apabila memenuhi beberapa persyaratan diantaranya adalah : (1) memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dan tipe ekosistem yang khas, unik dan spesifik yang mewakili tipe ekosistem dan biogeografi di kawasan tersebut, (2) memiliki luasan yang cukup untuk fungsi konservasi, pembangunan ekonomi berkelanjutan dan logistic support memiliki aspek legal yang jelas, (3) memiliki nilai dan kapasitas sebagai kawasan untuk pembangunan berkelanjutan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, penetapan suatu kawasan menjadi CB oleh MAB-UNESCO melalui beberapa beberapa tahapan proses penilaian dan prosedur khusus serta khusus mendapat dukungan dari para pihak terkait.
Saat ini, di Indonesia terdapat 16 (enam belas) CB yang berada di kawasan konservasi Beberapa kawasan konservasi telah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer (CB) oleh United Nations Education Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu Cagar Biosfer (CB) Tanjung Puting, CB Cibodas, CB Lore Lindu, CB Komodo, CB Pulau Siberut, CB Gunung Leuser, CB Giam Siak Kecil Bukit Batu, CB Wakatobi, CB Bromo-Tengger-Semeru-Arjuno, CB Takabonerate – Kepulauan Selayar, serta CB Blambangan, CB Berbak Sembilang, CB Rinjani Lombok, CB Betung Kerihun Danau Sentarum Kapuas Hulu, CB Togean Tojo Una, dan CB SAMOTA (Pulau Saleh – Pulau Moyo - - Gunung Tambora).
Pengelolaan CB melayani tiga fungsi yaitu (1) kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, jenis dan plasma nurfah, (2) menyuburkan pembangunan ekonomi yang baik secara ekologi dan budaya, dan (3) mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan, pendidikan dan pelatihan , pemantauan, pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional maupun global. (tsr)
Sumber : Balai Taman Nasional Gunung Merapi
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0