BPCB Sulsel Gelar Diskusi Kelompok Terfokus Bahas Ancaman Laju Kerusakan Lukisan Prasejarah

Kamis, 27 Desember 2018

Makassar, 27 Desember 2018. Bertempat di aula kompleks Benteng Rotterdam, Makassar, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (BPCB Sulsel) gelar diskusi terfokus. Membahas perihal restrukturisasi data, identifikasi, dan pemantauan laju kerusakan lukisan prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep dan Muna, Konawe Utara. Gelaran ini berlangsung sehari pada Rabu (26/12/2018).

Hadir sejumlah pihak di antaranya Balai Arkeologi Sulsel, dosen dan mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dan BPCB Sulsel sendiri. Tak ketinggalan Pusat Kajian Arkeologi Untuk Masyarakat, Universitas Negeri Makassar, dan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul). Sedikitnya 31 undangan telah hadir saat acara dimulai.

Kepala BPCB Sulsel, Laode Muhammad Aska membuka diskusi kelompok terfokus secara resmi. Tim kerja kegiatan ini kemudian mempresentasikan hasil pelaksanaan kegiatan mereka. Adalah Rustan, staf BPCB Sulsel mewakili timnya mempresentasikan hasil kerja mereka selama setahun belakangan ini.

Dalam paparannya ia menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan terus menerus pada lukisan dinding gua prasejarah. Penyebab kerusakan diduga berasal dari faktor alam dan faktor manusia. Kondisi iklim, vegetasi, fauna, jasad renik, dan bencana adalah faktor alam.  Kerusakan karena faktor manusia seperti aktivitias pertanian, pengembalaan ternak, vandalism, kunjungan wisata, dan penambangan.

“Kajian pelestarian yang berlangsung 2015 lalu menunjukkan bahwa media lukisan prasejarah  telah mengalami kerusakan hingga seratus persen. Dari 340 buah gambar, 92 persen di antaranya telah mengalami kerusakan,” terang Rustan dalam presentasinya.

Karenanya BPCB Sulsel kemudian bertekad untuk mengidentifikasi dan memantau laju kerusakan lukisan peninggalan manusia prasejarah ini. Melalui kegiatan ini tim kerja melakukan pengumpulan data kondisi objek secara terukur dari waktu ke waktu. Tak hanya itu mereka juga merekam data pendukung lainnya yang diduga sebagai faktor penyebab kerusakan.

Pada akhirnya mereka kemudian menganalisis korelasi antara perubahan lukisan prasejarah dengan data rekaman faktor dugaan penyebab perubahan.

Tim telah menentukan tujuh sampel gua prasejarah yang tersebar di tiga kabupaten: Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan serta Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.  Leang Pettae, Leang Jarie, Leang Jing, Leang Bulu Sipong 2, Leang Parewe, Liang Metanduno, dan Gua Anabahi adalah gua yang terpilih sebagi sampel kajian. Pemilihan gua tersebut mewakili karakter dominan gua prasejarah.

Data yang mereka kumpulkan cukup komplit dan sistematik. “Kami memilih sampel gambar pada lukisan di dinding gua prasejarah kemudian merekamnya dalam bentuk foto. Termasuk merekam data klimatologi dan kondisi lingkungan fisik ,” tambahnya.

Data perekaman tersebut akan mereka kumpulkan selama paling sedikit lima tahun. Perekaman diakukan selama empat periode dalam setahun: awal musim hujan, puncak musim hujan, awal musim kemarau dan puncak musim kemarau.

 Kajian ini telah dirintis mulai awal 2018 ini. Data yang telah terkumpul menjadi data awal, pembanding rekaman periode berikutnya. “Kami mengalami berbagai kendala dalam pengambilan data di lapangan karena sejumlah keterbatasan. Karenanya hasil sementara  hanya satu sampel yang terekam tiga kali, dua sampel yang terekam dua kali, dan empat sampel yang terekam hanya sekali,” tutur Rustan memaparkan hasil pengambilan data timnya.

“Kendala yang kami alami di lapangan di antaranya akurasi peletakan kamera yang berakibat tidak konsitennya foto rekaman. Juga belum tersedia kamera yang mumpuni agar mampu memudahkan mengidentifikasi kerusakan,” tambahnya.

Lebih jauh Rustan membeberkan bahwa ada beberapa data yang belum mampu direkam karena kekurangan alat pengukur. Karenanya tim hanya memanfaatkan alat yang tersedia. “Kami membutuhkan alat perekam gelombang getaran, perekam polusi atau debu, dan perangkat stasiun klimatologi mini,” bebernya.

“Karenanya kami meminta saran dan masukan dari berbagai pihak demi keberhasilan perekaman data dalam kajian ini,” tutupnya.

Nasir, staf BPCB Sulsel selaku moderator diskusi kelompok terfokus  itu kemudian menyilahkan narasumber berikutnya. Adalah Iwan Sumatri, Dosen Departemen Arkeologi Unhas, meninjau dari aspek akademik. Ia secara gamblang memaparkan dasar-dasar ilmu arkeologi, termasuk tujuan dasar ilmu ini. “Betapa penting lukisan tangan manusia yang hidup puluhan hingga ratusan ribu tahun lalu ini. Dengan kehadiran lukisan prasejarah ini, kita mengetahui ada kehidupan di sana sebelumnya. Kemudian peneliti melaksanakan tugasnya. Mengeksplorasi nilai yang terkandung di sana. Hingga kemudian kita dapat mengetahui kebudayaan manusia yang hidup di zaman itu,” pungkasnya.

Pada akhir sesi paparan materi, Kepala BPCB Sulsel menyampaikan bahan presentasi tentang perlunya monitoring dan evaluasi. “Melalui pemantauan secara berkala, kita akan mengetahui tren kecenderungan kerusakan, termasuk mendeteksi dini penyebabnya. Ini penting sebagai dasar untuk menanganinya. Paling tidak memperlambat proses laju kerusakannya,” terang Laode Muhammad Aska.

Sesi berikutnya diskusi, moderator membagi dalam beberapa babak tanya jawab. Begitu antusias audiensi mengajukan pertanyaan dan saran.

Sejumlah saran mencuat seperti perlunya pengaturan kunjungan wisatawan di gua prasejarah, mengintip upaya negara lain menjaga situs prasejarahnya hingga perlunya menitik beratkan kajian pada satu faktor penyebab agar datanya lebih akurat. Tak hanya itu kemampuan tenaga penjaga situs perlu ditingkatkan dan perlunya sosialisasi lebih luas kepada khalayak pentingnya menjaga warisan budaya manusia yang belum mengenal baca tulis ini.

Begitupun dengan sejumlah pertanyaan terlontarkan seperti seberapa besar sumbangsi industri termasuk tambang, perilaku manusia hingga  kelembapan dan intensitas cahaya matahari mempengaruhi laju kerusakan.

Jalannnya diskusi berujung pada kesimpulan bahwa perilaku manusia memberikan cukup dampak yang signifikan terhadap laju kerusakan. Terutama gua prasejarah yang terbuka untuk aktivitas wisata. Sentuhan ataupun gesekan langsung dari manusia memberi efek langung kepada lukisan pada dinding gua. Namun tak dapat dikesampingkan faktor alam terutama kelembapan, karenanya butuh waktu untuk mengamatinya.

Lebih lanjutnya narasumber menanggapi tentang aktivitas penambangan. “Saat ini kami belum menemukan cukup data tentang sumbangsi laju kerusakan seperti akibat penggunaan dinamit yang menimbulkan getaran hingga ke situs prasejarah,” terang Rustan.

Hingga pada akhirnya peserta diskusi kelompok terfokus menyepakati pentingnya menjaga lukisan manusia prasejarah melalui peran masing-masing pihak. Melalui pertemuan ini mereka berharap ke depan Kawasan Karst Maros Pangkep kelak menjadi pusat konservasi lukisan prasejarah di Indonesia.

Sumber: Taufiq Ismail – Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini