Terluka, Satu Ekor Induk Gajah Penghuni Gunung Biram Diobati dan Dipasangi GPS Collar

Kamis, 29 November 2018

Aceh Besar, 29 November 2018. Tim BKSDA Aceh kembali memasang satu unit GPS collar pada individu gajah liar yang beredar di wilayah Kabupaten Aceh Besar di hutan sekitar desa Panca, kemukiman Gunung Biram, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh , Kamis (29/11/2018).

Gajah betina yang dipasangkan kalung GPS ini sebelumnya dilaporkan masyarakat kepada pihak BKSDA karena sudah menampakkan diri diwilayah itu selama beberapa minggu dan dilaporkan terdapat luka di bagian pangkal ekornya yang sudah memburuk, dilaporkan juga terdapat luka lain di bagian dada sebelah kiri. 

Setelah memperoleh kabar lanjut dari masyarakat yang sudah sempat berkoordinasi, pada tanggal 28 November, Kepala BKSDA Aceh, Bapak Sapto Adji Prabowo memberikan instruksi agar melakukan operasi segera karena di laporkan bahwa gajah kembali ke sekitar perkebunan masyarkat. Tim yang terdiri dari staf BKSDA dari unsur PLG dan CRU yang dipimpin oleh Bapak Nurdin Isma serta tim Wildlife Ambulance dari PKSL (Pusat Kajian Satwa Liar) FKH Unsyiah segera melakukan persiapan dan memobilisasi perlengkapan dan tim melakukan obesrvasi pada hari itu juga. Tim dapat mendeteksi keberadaan dan posisi gajah, namun kondisi yang sudah gelap malam membuat tim harus menunggu keesokan harinya. Esoknya, hari Kamis 29 November 2018, tim kembali menelusuri jejak gajah dan dapat melakukan pembiusan dengan sempurna, sekira menjelang tengah hari gajah sudah dapat dikuasai sepenuhnya dan tim dibagi tugas dan bekerja secara simultan, sebahagian mengerjakan pemasangan GPS collar, sebagian lainya melakukan pengukuran fisik dan sebagian lainya melakukan penanganan luka yang sudah membusuk pada pangkal. Melihat kondisi perlukaan dan infeksi yang telah terjadi, tim memutuskan untuk melakukan amputasi diatas sendi terakhir perlukaan yang telah rusak dan membusuk. Operasi amputasi berjalan lancar dan obat obatan antibiotik maupun vitamin telah diberikan baik secara parenteral (injeksi) maupaun topical (langsung pada luka).

Dengan dipasangya GPS Collar, diharapkan Individu gajah yang sedang mengalami penanganan ini akan dapat dipantau pergerakan harianya setiap beberapa jam sesuai pengaturan yang dikehendaki unit GPS akan mengirimkan titik koordinat dan dapat langsung dipantau diatas peta digital. Data GPS Collar ini lebih jauh diharapkan akan memberikan informasi lebih banyak tentang pola penggunaan habitat gajah dan keterhubunganya dengan habitat lainya di kabupaten yang berbeda.

Populasi Gunung Biram, Lembah Seulawah ini dahulunya masih sering menyeberang sampai ke gunung seulawah agam, bahkan samapi ke pesisir daerah Lampanah Leungah, namun akibat semakin intesivenya perubahan pola penggunaan lahan di daerah jalan lintas sumatera sudah jarang ditemukan gajah menyeberang sampai ke seulawah agam.

Dari letak geografis dan melihat keterhubungan habitat, populasi ini diduga masih bergabung secara periodik dengan populasi yang menggunakan kawasan jantho yang sekarang juga tembus kearah Keumala dan banyak menimbulkan konflik disana. Data GPS collar ini mudah-mudahan dalam dua tahun kedepan akan mengkonfirmasi secara pasti jalur migrasi gajah ini yang sudah terpisah dari kelompok utamanya, untuk kemudian membantu pengambilan keputusan dan perancanaan lebih lanjut dalam upaya konservasi gajah sumatera tersisa ini. Data pergerakan harian gajah ini dapat pula dijadikan early warning system dalam upaya penanganan konflik gajah dimana kita dapat memprediksi jalur dan waktu pergerakan gajah agar dapat dilakukan antisipasi lebih dini.

Sapto Adji Prabowo, kepala BKSDA Aceh menyampaikan sejauh ini telah berhasil memasang 6 GPS collar yang tersebar di beberapa habitat penting gajah di Aceh. Saat ini 4 diantaranya masih aktif dan memberikan informasi yang sangat penting terkait pola pergerakan gajah dan mengkonfirmasi faktor barrier alami yang mempengaruhinya sehingga saat ini kita mengetahui beberapa kawasan yang sangat penting dan wajib dilakukan pengelolaan secara aktif untuk dapat menanggulangi konflik gajah secara permanen dan sekaligus sebagai langkah penting bagi upaya konservasi gajah. Sapto juga menyampaikan bawa GPS collar yang dipasang di Panca-Gunung Biram ini bersumber dari donasi IEF yang disalurkan melalui PKSL-FKH Unsyiah. FKH Unsyiah telah ber MoU dengan pihaknya di BKSDA Aceh selama ini untuk melakukan tanggap terhadap kebutuhan penanganan medis pada satwa liar di lapangan, termasuk satwa liar dilindungi lainya. Sapto berharap upaya ini akan menjadi bagian dari solusi penting bagi masa depan konservasi gajah di Aceh. BKSDA sendiri juga telah melakukan pengadaan unit GPS collar untuk kebutuhan lainya, karena program pemasangan GPS collar ini diadopsi oleh Ditjen KSDAE sebagai salah satu Role model yang dipilih untuk Aceh, Sapto menjelaskan lebih lanjut

Wahdi Azmi, ketua PKSL-FKH Unsyiah yang memimpin tim medis PKSL dalam operasi ini menjelaskan  bahwa pihaknya memposisikan diri mendukung tugas BKSDA Aceh sebagai otoritas pengelolaan konservasi yang telah diberikan mandat untuk itu, PKSL FKH Unsyiah dengan wildlife ambulance program-nya mendapat benefit berupa berbagai sarana dan akses bagi pelatihan pendidikan bagi calon-calon dokter hewan muda dan membangun keahlian khusus satwa liar sebagai comparative advantage didalam tubuh FKH satu-satunya di Sumatera ini. Saat ini beberapa staf pengajar FKH lainya membina langsung program wildlife ambulance ini diantaranya drh. Christopher Stremme, drh. Arman Sayuti, drh. Ryan Ferdian.

Wahdi juga menyebut bahwa wilayah operasi di kemukiman Gunung Biram ini merupakan kawasan yang bernilai historis bagi gajah di Aceh. Dulu ketika Gajah Putih yang asal muasalnya dari tanah Gayo itu menghilang cukup lama setelah masa kepemimpinan singkat Sultan Mughal (2 bulan) dan terjadi huru hara yang mengakibatkan terbunuhnya raja pada tahun 1579 M itu juga dan banyak gajah tidak terurus dan lepas termasuk Gajah Putih dan melarikan diri ke hutan. Maka pemuda Iskandar Muda cucu dari sultan Mughal lah yang kemudian menemukan kembali Gajah putih ini kembali di kemukiman Gunung Biram untuk kemudian membawanya kembali ke Darud Donya (Banda Aceh saat ini) dan mempersembahkanya kepada Raja berkuasa saat itu. Iskandar Muda akhirnya berkuasa di Aceh pada tahun 1607 M – 1636 M dan dikenang sebagai masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam.

Oleh karena itu, tidak mustahil kalau individu yang kita tangani ini telah diwarisi darah dan memiliki kekerabatan erat secara genetik dengan Gajah Putih yang dijuluki Biram Satani (Hantu Gunung Biram) pada masa itu. Oleh Karena itu, populasi gajah Gunung Biram ini wajib kita lestarikan, dan bisa jadi di suatu saat gajah putih keturunan langsung dari Biram Satani akan terlahir kembali. “Saya semula heran melihat sikap masyarakat daerah ini yang bukannya marah dengan kehadiran gajah ini, karena ditumbangkan beberapa pokok pepaya dan pisangnya, malah ada beberapa masyarakat yang ingin mengobati langsung gajah tersebut dan telah menyiapkan obat semprot penangkal belatung di sepeda motornya, kalau kalau gajah memberikan akses” demikian Wahdi mengungkapkan keherananya melihat masih ada masyarakat Aceh asli yang berhati mulia dan sangat mencintai gajah juga sangat pemberani hingga ingin mengobati langsung meskipun mereka tau ini adalah gajah liar dan berbahaya. Mari mendoakan semoga gajah ini dapat pulih sepenuhnya.

Sumber : Balai KSDA Aceh

Kontak Person:

Sapto Adji Prabowo (0812-5006-527)

Wahdi Azmi (0852-9699-3140)

Nurdin Isma (813-7016-2013)

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini