Rabu, 25 April 2018
April 2018. Empat lelaki Asmat mengenakan mahkota adat dari bulu kasuari, bertelanjang dada dan kaki. Seorang dari mereka berjongkok di pinggir kubangan lumpur sembari mengais-ngais serpihan kayu. Sementara tiga lelaki lainnya menusuk-nusukkan batang besi kecil dengan ujung runcing berpengait.
Tiba-tiba lelaki yang berjongkok di pinggir kubangan berteriak memanggil tiga temannya. Dengan bahasa daerah Asmat yang cenderung mirip dengung dan sepertinya sangat sulit dipelajari, lelaki itu mengabarkan kepada teman-temannya, bahwa ia menemukan benda magis yang mereka cari. Sontak mereka mencebur ke dalam kubangan, lantas menyerukan suatu gumam secara serempak. Nadanya tegas namun ritmis. “Hoo! Hoo! Hoo! Hoo!” Begitulah kedengarannya.
Gumam itu didendangkan dengan suka cita, sambil menggoyang-goyangkan sesuatu yang masih tersembunyi di dalam lumpur. Tampak seirama dan harmoni antara gumam dan gerak tubuh mereka yang terendam hingga batas dada dan bahu. Wajah-wajah mereka menampakkan ekspresi antara bahagia sekaligus diliputi tanda tanya. Mungkin saja gumam yang ritmis itu sama halnya ungkapan syukur atau bahkan do’a-do’a.
Selang sekitar tiga menit, gumam itu berubah teriakan panjang yang menandakan akhir sebuah proses. Tangan-tangan mereka serempak menyembul ke permukaan mengangkat sebongkah kayu berbalut lumpur. Senyum mengembang di bibir mereka saat bersama-sama meletakkan bongkahan kayu itu di sisi kubangan. Tangan-tangan mereka yang cekatan mulai membersihkan lumpur, meskipun belum bersih sempurna saat itu juga. Bongkahan kayu itulah yang disebut emas dari dalam lumpur. Aromanya harum, dan warnanya tetap kuning keemasan meski telah terendam dalam jangka waktu yang tak dapat diperkirakan. Itulah gaharu dari pedalaman Asmat, Papua. Keharumannya telah menguar ke berbagai belahan dunia, dan telah bertahun-tahun menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat di Kampung Jinak, Distrik Suator, Kabupaten Asmat.
Masyarakat Asmat biasa mencari gaharu ke dalam hutan secara berkelompok, tiga hingga lima orang. Jaraknya cukup jauh dari kampung. Mereka harus naik perahu menyusuri Sungai Siret yang panjang berkelok, lalu masuk ke anak Sungai Jue, barulah tiba di tepi hutan, tempat biasa mencari gaharu. Dari tepi itu, mereka masih berjalan kaki sekitar 356 meter ke dalam hutan.
Dalam sekali waktu pencarian, mereka biasanya membawa pulang bongkahan kayu gaharu sejumlah kelompok mereka. Besarnya bervariasi, namun menandakan itu adalah bekas pohon tumbang yang usianya cukup tua. Satu bongkah bisa seukuran rangkulan kedua lengan orang dewasa. Karena masih dalam keadaan basah, bongkahan-bongkahan gaharu itu sangat berat. Sementara mereka tidak memiliki alat angkut modern. Inilah bagian paling unik pada proses pencarian gaharu: cara masyarakat Asmat membuat “tas punggung” dari pelepah sagu. Semua lelaki Asmat pencari gaharu sangat mahir dalam hal itu.
Mula-mula dua pelepah sagu yang daun-daunnya masih utuh dipotong dengan ukuran besar dan panjang seimbang. Keduanya kemudian ditaruh berjejer di tanah. Berikutnya, dedaun sagu dari kedua pelepah itu dianyam saling bertaut. Hasilnya berupa pola anyaman yang diapit dua pelepah. Sementara di kedua sisi paling pinggir adalah daun-daun sagu yang tetap merentang seperti sayap. Sampai di sini, “tas punggung” pelepah sagu sudah setengah jadi. Bongkah-bongkah gaharu kemudian diletakkan di atas anyaman, lalu diikat dengan daun-daun yang terentang itu. Langkah terakhir adalah memasang tali dari sulur-sulur pohon hutan pada kedua pelepah. Maka, “tas pungggung” berisi bongkah gaharu pun siap difungsikan.
Gaharu Asmat adalah satu-satunya yang diambil dalam bentuk bongkahan, dan telah tertimbun di dalam lumpur bertahun-tahun. Produk gaharu lainnya biasa diambil dari pohon tegakan. Para lelaki Asmat telah memanfaatkan gaharu dari dalam lumpur sejak sekitar tahun 1995, menjadikannya mata pencaharian utama untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mungkin saja Tuhan telah mengatur berkat untuk mereka, dengan menciptakan proses alamiah kayu itu menjadi barang berharga, bernilai jutaan rupiah. Orang-orang Asmat yang bersedia melanglang hutan rimba pasti akan mendapatkan berkat itu.
Setelah tiba di kampung, para lelaki itu membersihkan kembali bongkahan gaharu, lalu menjemurnya hingga kering. Setidaknya kadar air di dalam gaharu sudah jauh berkurang. Bongkahan-bongkahan itu akan dipecah-pecah. Mereka mencari bagian kayu dengan kualitas super, yang biasanya terletak di tengah dan warnanya hitam.
Mereka menggunakan alat dari besi, dengan tangkai untuk pegangan dan bagian ujung dibengkokkan. Sisinya sangat tajam untuk menggurat gaharu, sehingga menghasilkan serpih-serpih kayu kecil atau tipis. Melalui proses ini pula gaharu dipisahkan berdasarkan kualitasnya. Bagian paling luar, kemudian lebih ke dalam, dan bila beruntung mereka akan mendapatkan yang super. Sekepalan tangan pun harganya berjuta-juta rupiah.
Beberapa waktu ini, pemasok gaharu terbesar di Indonesia adalah Papua, yang dicari dengan cara sangat khas oleh masyarakat Asmat. Bongkah-bongkah gaharu itu berasal dari kayu tumbang termakan oleh suatu senyawa yang membuatnya harum. Belum dilakukan penelitian secara detail mengenai masa, kapan emas-emas harum itu mulai tertanam. Demikian halnya mengenai pelestarian. Ketika gaharu Asmat mengalami eksploitasi besar-besaran setiap tahun, kecemasan yang muncul tentu perihal kepunahan, emas-emas harum dari dalam lumpur itu akan habis.
Upaya yang paling mungkin dilakukan sekarang adalah penanaman kembali. Namun hal ini masih dalam langkah yang sangat awal, menentukan apakah jenis bongkahan yang tumbang dan tertimbun di dalam lumpur sama dengan pohon-pohon tegakan di sekitar gaharu itu ditemukan.
Bagaimanapun, gaharu yang oleh masyarakat Asmat dikatakan sebagai emas dari dalam lumpur, adalah harapan hidup bagi mereka. Keberhasilan dalam upaya pelestarian merupakan pencapaian sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, dan Nusantara yang luas ini akan melihat, Asmat adalah tanah yang kaya. []
Harum Emas dari dalam Lumpur Asmat
Sumber : Dzikry el Han & Johan Gustiar - Balai Besar KSDA Papua
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 3.5