Menganyam Masa Depan Herpetofauna Jawa Timur dari Yogyakarta

Selasa, 29 April 2025 BBKSDA Jawa Timur

Yogyakarta, 27 April 2025. Di sebuah auditorium yang dipenuhi deret bangku dan papan poster berisi hasil penelitian dan temuan lapangan. Hampir seratus akademisi, peneliti muda, hingga praktisi konservasi berkumpul dalam Seminar Nasional Penggalang Herpetologi Indonesia 2025. Kegiatan bertema “Past, Present, and Future: 17 Tahun Penggalang Herpetologi Indonesia” itu bukan sekadar ajang rutin. Di balik setiap diskusi, ada kegelisahan tentang masa depan amfibi dan reptil Nusantara.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim) mengirim dua perwakilan,  Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Muda, dan Ferdinan Sebastian, Penyuluh Kehutanan Pemula. Keduanya, bersama peserta lain dari berbagai institusi, larut dalam dua hari diskusi yang padat di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.

Sejak pagi hari pertama, suasana sudah terasa serius. Setelah pembukaan oleh Dekan Fakultas Biologi UGM, satu per satu pemateri utama mengisi podium. Dr. Irvan Sidik, Dr. A.A. Thasun Amarasinghe, dan Dr. Luthfi Nurhidayat memaparkan persoalan klasik konservasi herpetofauna. Seperti tekanan perubahan habitat, fragmentasi populasi, hingga kebutuhan mendesak riset berbasis molekuler untuk memahami dinamika genetika spesies.

Lalu, sesi-sesi paralel mulai bergulir. Presentasi dari mahasiswa, dosen, hingga praktisi lapangan menampilkan potret-potret kecil yang berjejal. Habitat berudu Polypedates leucomystax yang kian menyempit di Sleman, upaya memodelkan kesesuaian habitat kura-kura moncong babi di Papua Selatan, hingga inovasi alat pelacak berbiaya rendah untuk konservasi kura-kura liar.

Fajar Dwi Nur Aji dan Ferdinan Sebastian mencatat ketertarikan mereka pada sesi-sesi tentang metodologi konservasi habitat dan ekologi lapangan. 

"Konservasi herpetofauna tidak bisa berdiri sendiri. Harus berbasis sains, terhubung dengan sosial, dan adaptif terhadap perubahan," kata Fajar saat berbincang singkat usai sesi.

Seminar ini juga memberi ruang bagi para peserta untuk membangun jejaring baru. Di sela-sela poster session dan coffee break, diskusi informal tentang kolaborasi lapangan, pertukaran data, hingga peluang riset bersama mengalir begitu saja. Suasana terasa lebih cair, menjembatani batasan antar generasi konservasionis.

Tidak hanya soal berbagi temuan baru, seminar ini juga menjadi ajang refleksi. Sejumlah peserta senior mengingatkan bahwa setelah 17 tahun berdiri, Penggalang Herpetologi Indonesia harus lebih berani mengambil peran dalam advokasi konservasi. Bukan sekadar mengisi jurnal, tetapi hadir nyata dalam kebijakan dan aksi lapangan.

Dalam momentum ini, partisipasi BBKSDA Jatim menjadi strategis. Selain memperbarui ilmu, keikutsertaan ini juga memperkuat komitmen lembaga untuk menerjemahkan hasil-hasil riset menjadi aksi konservasi konkret di wilayah kerja.

"Yang kita bicarakan di sini harus sampai ke tapak. Bukan berhenti di ruang seminar," tambah Fajar.

Ketika seminar ditutup dengan sesi ramah tamah dan pembahasan keanggotaan, satu kesimpulan tak terucap namun terasa, konservasi herpetofauna Indonesia memerlukan lebih banyak tangan, lebih banyak akal, lebih banyak hati. Dan tugas itu, kini bertambah berat di punggung mereka yang hadir di ruangan itu. (ak)

Sumber: Agus Irwanto - Analis Konservasi Kawasan Balai Besar KSDA Jawa Timur.


Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini