Rawan Konflik Manusia - Satwa Liar, BBKSDA Sumut Gelar Rakor & Sosialisasi di Kab. Tapanuli Tengah

Minggu, 29 September 2019

Pandan, 27 September 2019. Balai Besar KSDA Sumatera Utara menyelenggarakan kegiatan Rapat Koordinasi (Rakor) Daerah Rawan Konflik Manusia – Satwa Liar di Ruang Rapat Dinas Lingkungan Hidup Tapanuli Tengah Jl. Zainul Basri Hutagulung – Pandan, 27 September 2019. Rapat dipimpin langsung Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara dan dihadiri oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tapanuli Tengah, Kepala Bappeda Tapanuli Tengah, Camat Sorkam  Barat, Camat Sorkam, Camat Kolang, Camat Pinangsori dan perwakilan SKPD lingkup Kabupaten Tapanuli Tengah antara lain KPH Unit XI Pandan, Kepolisian Resort  Sorkam, Kolang, termasuk TNI Angkatan Laut, PSDKP Sibolga, Kelompok Konservasi Pantai Binasi.

Disamping dalam rangka memetakan daerah konflik manusia – satwa liar di Kabupaten Tapanuli Tengah, pada kesempatan kali ini Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Dr. Ir. Hotmauli Sianturi, M. Sc. For, menyampaikan juga pentingnya konservasi penyu. Penyu adalah satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Permen LHK No. P. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat (2) Setiap orang dilarang : (a) Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.(b) Menyimpan, memiliki, memlihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan mati. Ancaman pidananya adalah “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah).

Dari 7 spesies penyu yang ada di seluruh dunia, 6 spesies terdapat di Indonesia dan diantaranya spesies tersebut, 4 spesies penyu terdapat di Tapanuli Tengah, yakni Penyu sisik (Eretmochelys imbricate), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea). Konservasi penyu menjadi mengingat kemampuan keberhasilan reproduksinya yang kecil sementara peranannya dalam menjaga kestabilan ekosistem laut sangatlah tinggi. Seekor penyu dapat menghasilkan 100 – 150 sekali bertelur, dan hanya 1 – 3 %  mampu bertahan hidup sampai dewasa. Selain predator alaminya seperti biawak dan elang  manusia adalah ancaman serius bagi konservasi penyu.

Telurnya diambil dan dijual, penyu ditangkap untuk dikonsumsi, kerapasnya dibuat bahan kerajinan. Apalagi terdapat kebiasaan masyarakat lokal dimana penyu dijadikan tambul sebagai pendamping minuman tradisional tuak (Seperti Desa Muaranauli, Desa Sitiris-sitiris, dan Desa Madani); Daging untuk dimakan, bagian karapas (cangkang) penyu juga dijadikan sebagai hiasan adalah melanggar aturan dan hal ini perlu disosialisasikan secara meluas kepada masyarakat. Selain penyu, kantung semar, trenggiling dan bungai bangkai adalah jenis-jenis TSL dilindungi yang umum dijumpai masyarakat di Tapanuli Tengah di sekitar tempat tinggal mereka.

Apabila kondisi seperti ini terus berlangsung maka akan mempercepat proses kepunahan penyu. Kepunahan penyu akan mengganggu rantai makanan di alam karena beberapa alasan yakni mingrasi penyu berperan dalam menyebarkan kesuburan di laut, membantu pertumbuhan terumbu karang dengan memangsa sponge yang merupakan kompetitor terumbu karang, menjaga stok perikanan dengan memangsa ubur-ubur yang adalah predator juvenil benih ikan dan memangkas helai lamun tua untuk memacu pertumbuhan lamun muda.

Harapannya setelah dilaksanakan sosialisasi dan koordinasi, tidak ditemukan lagi masyarakat Tapanuli Tengah yang mengkonsumsi penyu dan telur penyu serta perdagangan souvenir dari penyu. Semoga penyu lestari di habitat alaminya.

Keberhasilan konservasi satwa liar khususnya yang dilindungi undang-undang memerlukan dukungan semua pihak. Mencegah adalah yang terbaik. Koordinasi dan sosialisasi konservasi satwa liar di tingkat tapak mampu meminimalisir terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar. 

Sumber : Edina - Balai Besar KSDA Sumatera Utara

277.PNG
Materi oleh Kepala BBKSDA Sumatera Utara, Dr. Ir. Hotmauli Sianturi, M. Sc. For

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini