Senin, 10 Juni 2019
Jakarta, 29 Mei 2019. Hidup sehat kini terus menjadi gaya hidup masyarakat dunia. Termasuk di Indonesa. Bukan hanya di perkotaan, bahkan hingga pedesaan. Salah satunya makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari. Kalau bicara makanan, seringnya sih kita gak tahu perjalanan asal-usulnya. Terkadang tahunya udah tersedia di meja makan atau kita beli di rumah makan atau restoran.
Kalau sedang jalan-jalan ke daerah pegunungan, selain udara segar dan pemandangan indah, kita pasti melihat berbagai tanaman buah-buahan, sayur-sayuran, kopi, teh dan lainnya. Nah, itulah awal perjalanan dari makanan dan minuman yang kita konsumsi. Jadi, pegununngan menjadi rumah penyedia air tawar, energi dan makanan untuk semuanya. Bukan hanya menyediakan makanan dan kesejahteraan bagi ratusan juta masyarakat dunia yang tinggal di pegunungan itu sendiri, tetapi secara tidak langsung juga memberi manfaat miliaran orang yang hidup hingga ke hilir. Menurut data dari “Food and Agriculture Organization” (FAO), 60-80 persen air tawar dunia bersumber dari pegunungan. Diinfokan juga jika pertanian gunung telah menjadi model untuk pembangunan berkelanjutan selama berbad-abad dan inheren “hijau” berkat karakter skala kecil dan jejak karbon yang rendah.
Menurut Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ancaman bagi ekosistem pegunungan di Jawa dan hampir seluruh Indonesia ada dua: “mass tourism” dan “vegetable based farming”. Sebagian besar pertanian sayuran dan buah-buahan seperti kol dan tomat itu mengandung pestisda semua. Tanahnya juga terkontaminasi.
“Penggunaan pupuk kimia buatan dan pestisida tersebut telah menyebabkan hilangnya serangga dan burung. Akibatnya penyerbukanpun gagal,” papar Wiratno saat “media briefing” di ruang “media center”, gedung Manggala Wanabakti, KLHK, Senin (27/05/2019) sore.
Wiratno kemudian menjelaskan mengenai ditemukannya salah satu jenis mikroba asal Taman Nasional Gunung Ciremai yang teryata mampu memberikan solusi untuk pertanian gunung yang sehat dan menyehatkan lingkungan tentunya. Mikroba tersebut mampu mempercepat pertumbuhan akar tanaman. Berfungsis seperti penyubur, potensial menggantikan peran pupuk kimia buatan. Penggunanna juga diyakini dapat mengurangi kerusakan air tanah.
“Temuan ini merupakan hal yang luar biasa. Ini menjadi bukti bawa betapa pentingnya kawasan konservasi itu. Jadi bukan hanya terkait dengan wisata alam, habitat satwa, perubahan iklim dan air saja. Tetapi lebih dari itu,” ujar Wiratno.
Wiratno juga mengatakan bahwa kawasan konservasi seperti taman nasional juga merupakan gudangnya pengembangan pertanian sehat dimasa depan. Salah satu sumbangan kawasan konservasi yang sangat penting. Masa depan kita adalah “bioprospecting” (bioprospeksi) – proses penemuan dan komersialisasi produk-produk baru berdasarkan sumber daya hayati. Menjadi penting dan berguna di banyak bidang. Termasuk untuk obat-obatan dan pertanian.
Kementerian LHK, dalam hal ini Balai TN Gunung Ciremai bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), sejak 2017 tengah mengembangkan “bioprospecting” mikroba yang berguna sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas pertanian sehat tanpa pupuk kimia buatan dan pestisida.
Pengembangan kegiatan ini sendiri salah satunya didorong atas keprihatinan Balai TNGC terhadap pertanian di 54 desa penyangga yang telah bertahun-tahun menggunakan bahan kimia buatan sebagai penyubur tanaman dan pembasmi hama. Tentu sangat menkhatirkan mengganggu keseimbangan ekosistem alam, baik itu di luar maupun di dalam kawasan.
Menariknya ternyata ide awal dari eksplorasi mikroba justru muncul ketika terjadi kebakaran hutan di sekitar puncak gunung Ciremai tahun 2015. Ternyata setahun pasca kebakaran, tempat tersebut telah kembali pada kondisi seperti semula. Melihat hal tersebut, Pengendali Ekosisten Hutan (PEH) TNGC berkesimpulan ada sesuatu yang bernilai tinggi di sana.
Penelitian yang dipimpin langsung Dr. Suryo Wiyono dari Laboratorium Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Sebanyak 37 sampel dikumpulkan dari tanah, akar-akaran, dan daun dari berbagai tanaman di kawasan TNGC untuk mendapatkan mikroba berguna.
"Dari hasil isolasi, uji hemolysis, dan uji hipersensitif, terdapat tiga kelompok mikroba yang berguna bagi tanaman: cendawan patogen serangga hama, khususnya kelompok wereng dan kutu-kutuan, yaitu cendawan Hirsutella sp dan Lecanicillium sp. Kemudian isolat bakteri pemacu pertumbuhan “plant growth promoting rhizobacteria” (PGPR) yang mampu meningkatkan panjang akar bibit tomat 42,35 persen dan membuat tomat lebih tahan penyakit bercak daun. Dan meningkatkan daya kecambah 178 persen. Terakhir, bakteri yang paling efektif dalam menekan dampak “frost” bagi tanaman, PGMJ 1 (asal Kemlandingan Gunung), dan A1 (asal Anggrek Vanda sp),” papar Suryo Wiyono.
Sejak Agustus 2018 telah dilakukan uji coba pada tanaman cabe rawit, tomat, dan terong ungu di Seksi Pengolahan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Kuningan, Desa Bandorasa Kulon, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan dan pada demplot tanaman padi dan kentang yang masuk SPTN Wilayah II Majalengka di Desa Bantaragung, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka. Hasilnya, kedua-duanya positif. Mikorba berguna (PGPR) dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas dan menyehatkan tanaman.
Fakta lainnya di lapangan membuktikan mikroba bermanfaat (PGPR) asal TNGC mampu meningkatkan pertumbuhan dan menyehatkan tanaman. Hanya dalam kurun waktu 5 bulan ketika diterapkan pada tanaman pemulihan ekosistem hutan, pertumbuhannya menjadi lebih cepat.
Mendengar itu semua, makin yakin kita, kedepan hasil pertanian yang kita konsumsi akan semakin baik dan sehat. Demikian juga alamnya, desa tempat bertani juga sehat, penggunaan bahan kimia buatan baik itu untuk pupuk dan pembasmi hama digantikan oleh mikroba alami yang diperoleh dari hutan alam. Saling berpengaruh positif antara desa-desa pertanian dengan hutan konservasi yang disangganya. Dan makin bangga dengan kawasan konservasi kita. Selain memang alamnya sangat indah. Beragam flora dan faunanya. Ternyata juga menyimpan berbagai mikroba dan bakteri yang juga sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia yang lebih baik.
Sumber : Balai Taman Nasional Gunung Ciremai & Tim Jelajah 54 TN Indonesia
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0