Suaka Margasatwa Mamberamo Foja, Apa Kabarmu Kini?

Rabu, 19 September 2018

Jayapura, 19 September 2018. Yayasan Intsia bekerjasama dengan BBKSDA Papua dan Universitas Papua (Unipa) menggelar Seminar Hasil Kajian Pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa Mamberamo Foja. Kegiatan diselenggarakan di Ruang Cenderawasih 2 Swiss-Belhotel, Jayapura pada Selasa (18/9). Berbagai unsur yang hadir dalam seminar adalah masyarakat dan tokoh adat, perwakilan Pemerintah Daerah yang berada di sekitar SM Mamberamo Foja, mahasiswa, akademisi, pemerhati konservasi, dan LSM.

Kegiatan dibuka oleh Direktur Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (PIKA), Ir. Listya Kusumawardani, M.Si., yang sekaligus memberikan materi kebijakan evaluasi kesesuaian fungsi kawasan konservasi pada sesi seminar. Adapun pemateri lainnya adalah Kasubdit Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Fifin Arfiana Jogasara, S.Hut, M.Si., Kepala BBKSDA Papua, Ir. Timbul Batubara, M.Si., serta tim akademisi Unipa, Ir. Max J. Tokede, MS., dan Zulfikar Mardiyadi, S.Hut, M.Si.

Berdasarkan kajian yang dilakukan tim Unipa, dalam kurun waktu 27 tahun antara 1990-2017, SM Mambaramo Foja mengalami deforestasi seluas 34.382 hektar dan degradasi hutan seluas 73.307 hektar. Kerusakan tersebut menyebar di beberapa kabupaten, mengingat SM Mamberamo Foja membentangi 12 wilayah kabupaten di Provinsi Papua.

Lebih dari itu, hal sangat menarik berlangsung pada sesi seminar ketika Timbul Batubara menyampaikan materinya. Ia mengundang semua unsur masyarakat Mamberamo yang hadir untuk maju bersama-sama dan secara bergantian menyampaikan aspirasi. Mereka terdiri dari tokoh adat, pemuda, mahasiswa, hingga Pegawai Negeri Sipil. Semenjak lahir mereka telah akrab dengan alam Mamberamo, dan setidaknya mereka juga memiliki kehendak dan harapan terhadap lingkungan alamnya hingga generasi masa depan.

Banyak pendapat dan pandangan disampaikan oleh masyarakat Mamberamo, antara lain dukungan terhadap kerja konservasi yang menjaga hutan dan alam mereka agar tetap lestari. Di sisi lain, mereka juga mendambakan dapat memanfaatkan alam hingga mencapai taraf hidup sejahtera, serta mudah mendapatkan akses ke dunia luar.

Listya Kusumawardani menyatakan, “Untuk saat ini semakin dituntut, kawasan konservasi harus berfungsi sesuai dengan statusnya. Sebagai Suaka Margasatwa, Mamberamo Foja juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kalau sekarang belum optimal, bagaimana cara kita mengoptimalkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Kemitraan-kemitraan yang belum ada harus segera dibangun.”

Pada saat yang sama, Timbul Batubara menyampaikan bahwa Suaka Margasatwa Mamberamo Foja merupakan keindahan dan keluarbiasaan dalam hal keanekaragaman hayati. Tetapi keindahan itu belum berarti apa-apa tanpa didukung oleh kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sayangnya, pengaruh globalisasi, hedonisme, materialistis menyebabkan degradasi kawasan karena dimanfaatkan secara salah.

“Harus kita sinergikan di lapangan. Bagaimana suatu budaya itu harus bahagia dengan keadaannya. Sesungguhnya arti kekayaan bukan hanya materi, tetapi budaya itu sendiri merupakan kekayaan yang tiada banding. Ini yang harus kita dorong agar masyarakat percaya diri. Mereka sebenarnya sudah luar biasa dalam melakukan konservasi. Sehingga sampai saat ini Papua masih dapat hadir dengan vegetasi 80 %. Sisanya yang 20% memang harus kita sadari telah rusak. Jadi tidak perlu kita mengajari masyarakat tentang konservasi, kitalah yang sebenarnya harus belajar kepada mereka,” ungkap Timbul.

Seminar hasil kajian tentang Suaka Alam Mamberamo Foja menghasilkan delapan rumusan, salah satunya mengenai masyarakat adat yang bermukim di 12 wilayah kabupaten sekitar kawasan. Secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis, mereka merupakan bagian dari ekosistem kawasan yang harus menjadi subyek dalam pengelolaan kawasan. Masyarakat tentu memerlukan suatu ruang kelola. Dalam konteks ini masyarakat diberi peluang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, yang berupa tumbuhan dan satwa liar serta jasa lingkungan. Dengan catatan, pemanfaatan tersebut harus memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan dan kearifan lokal, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat adat. Hal ini diwujudkan dalam tindak lanjut, antara lain melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk penangkaran buaya muara. []

Sumber: BBKSDA Papua

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini