Selasa, 28 Februari 2017
KARUHUN - SESEPUH CIKEPUH MENAGIH JANJI KONSERVASI
Gelombang hiruk pikuk reformasi periode 1998-2001 turut menorehkan sejarah kelam pada kawasan konservasi di Indonesia, salah satunya di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh. Lebih dari 4.000 jiwa telah merambah habitat sekaligus benteng pertahanan terakhir satwa liar di pesisir selatan Kabupaten Sukabumi. Tujuh satwa penghuni SM Cikepuh diduga telah punah secara lokal akibat perburuan dan kehilangan habitat selama masa perambahan, salah satunya adalah macan tutul (Panthera pardus melas). Setelah lebih dari 15 tahun berlalu, macan tutul yang telah dianggap punah dari kawasan hutan Cikepuh, kini dinyatakan eksis kembali sebagai top predator di kawasan yang juga merupakan zona inti Geopark Ciletuh tersebut. Expedisi Macan Tutul yang dilakukan oleh Balai Besar KSDA Jawa Barat bersama dengan International Animal Rescue (IAR) dan Yayasan Harimau menghasilkan temuan yang sangat dinanti oleh para pegiat lingkungan Tatar Sunda.
Macan tutul, salah satu penghuni kawasan SM Cikepuh, sempat diduga punah secara lokal bersamaan dengan hilangnya beberapa satwa kunci lainnya seperti banteng, merak, buaya, dan lutung jawa. Dugaan tersebut merebak setelah lebih dari 50% kawasan tersebut rusak dan tidak bervegetasi akibat gelombang perambahan pada awal era reformasi 1998 – 2001. Tidak hanya itu, perburuan terhadap satwa liar (termasuk macan tutul) pada masa tersebut juga semakin memperkuat dugaan punahnya karnivora besar tersebut dari SM Cikepuh.
Secercah harapan akan hadirnya macan tutul di SM Cikepuh kembali mengemuka, seiring dengan bervegetasinya kembali kawasan konservasi ini sebagai hasil kegiatan rehabilitasi. Hal tersebut berawal dari informasi lisan kelompok mahasiswa peneliti Institut Pertanian Bogor dan masyarakat sekitar kawasan. Lebih lanjut, laporan hasil survey primata IAR mengungkap adanya tanda-tanda keberadaan macan tutul seperti cakaran, feses, dan jejak. Namun, akibat masih minimnya data yang tersedia membuat banyak pihak masih meragukan kebenaran informasi tersebut.
Menjawab keraguan tersebut, Balai Besar KSDA Jawa Barat, sebagai pengelola kawasan SM Cikepuh, bersama masyarakat, IAR, dan ahli kucing besar melakukan pengamatan untuk menguji kebenaran informasi keberadaan macan tutul tersebut. Pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan alat bantu kamera jebak dikonsentrasikan pada lokasi-lokasi yang diduga menjadi wilayah jelajah macan tutul serta area yang banyak ditemukan tanda-tanda keberadaan macan tutul.
Hasilnya, setelah 28 hari pengamatan (antara bulan Juli – Agustus 2016), sebanyak 4 kamera berhasil menangkap 7 frame video yang menunjukkan aktivitas macan tutul di SM Cikepuh. Dari video tersebut terungkap bahwa sebanyak 3 individu macan tutul yang tertangkap kamera merupakan macan tutul dengan pola tutul kuning, sedangkan satu individu merupakan varian tutul hitam atau yang sering dikenal dengan macan kumbang. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa macan tutul yang tertangkap kamera merupakan 4 individu yang berbeda. Melalui analisa sederhana, diprediksi bahwa populasi macan tutul di SM Cikepuh saat ini sekitar 12 ekor. Namun demikian, masih dibutuhkan pengamatan yang lebih intensif untuk mengetahui kepastian jumlah individu serta sex ratio macan tutul di SM Cikepuh.
Hasil kajian keberadaan macan tutul ini merupakan informasi penting bagi Balai Besar KSDA Jawa Barat sebagai pengelola kawasan konservasi SM Cikepuh. Sebagai tindak lanjut hasil kajian, Balai Besar KSDA Jawa Barat tengah menyusun beberapa program dan rencana kerja yang disandingkan dengan program strategis kawasan lainnya, di antaranya inventarisasi macan tutul, mitigasi konflik macan tutul, pengendalian kebakaran hutan, pengembangan zona inti Geopark Ciletuh, reintroduksi banteng dan satwa liar lainnya serta persiapan habitat kedua Badak Jawa.
Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat, Sustyo Iriyono, menegaskan bahwa hadirnya kembali macan tutul di SM Cikepuh menjadi bukti keberhasilan upaya restorasi kawasan konservasi. Mengingat SM Cikepuh merupakan sebuah ekosistem tempat berinteraksinya tumbuhan dan satwa liar, maka upaya restorasi kawasan seharusnya bukan hanya dilakukan terhadap tumbuhan, melainkan juga terhadap satwa liar yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, upaya memasukkan kembali satwa-satwa yang pernah hidup dalam kawasan (reintroduksi) satwa merupakan program strategis kawasan yang perlu mendapat dukungan semua pihak.
Sumber Info : Humas BBKSDA Jawa Barat
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5