Kamis, 15 Februari 2018
Bantimurung, 15 Februari 2017. Balai TN Batimurung Bulusaraung (TN Babul) gelar pertemuan dan kunjungan lapangan (13/02/18) sebagai upaya pemangku kawasan untuk menjaring dukungan dan komitmen para pihak dalam menangani Invasive Alien Spesies, Spathodea campanulata. Turut hadir Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Subdit Keamanan Hayati Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Puslitbanghut) Kementerian LHK, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan LHK Makassar, Akademisi (pakar) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar, pejabat struktural lingkup Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kepala Resor Pattunuang-Karaenta serta beberapa pengendali ekosistem hutan TN Babul.
“Tumbuhan asli daratan afrika ini diperkirakan masuk ke Indonesia (melalui Pulau Jawa) sekitar abad ke-19. Bijinya dikirim ke Maros, Sulawesi Selatan tahun 1902 untuk dibudidayakan sebagai tanaman hias dan peneduh jalan" jelas Ir. Sahdin Zunaidi, M.Si selaku Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat memaparkan materi jalan masuk S. campanulata.
Tahun 1976 spathodea sengaja ditanam secara terbatas sebagai batas kawasan di Cagar Alam Karaenta saat itu (sekarang menjadi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung). Dari sanalah tanaman alien ini mulai menyebar. Menggerogoti ekosistem karst taman nasional ini yang dikenal luas memiliki tipe menara karst terbesar dan terindah kedua di dunia. Saat ini telah mengokupasi kawasan tersebut seluas 438 hektar dan berpotensi menyebar lebih luas.
Seorang pengendali ekosistem hutan taman nasional menceritakan pengalamannya tentang tumbuhan invasif ini. “Jenis tumbuhan ini seperti alien. Mengapa? Jika pohon ini tumbang, maka pada bagian batang, cabang, atau rantingnya akan muncul tunas baru. Sekali waktu kami pernah uji coba dengan meneres batangnya seukuran 30 cm. Beberapa waktu berselang muncul kambium baru dan menutup kembali teresan. Saya takjub dibuatnya,” cerita Kamajaya Shagir.
Keberadaan tanaman invasif ini mengancam beberapa spesies tumbuhan kunci yang merupakan pakan dan tumbuhan pelindung bagi beberapa satwa endemik Sulawesi. Satwa dimaksud di antaranya monyet hitam sulawesi (Macaca maura), julang sulawesi (Acerox cassidix), kangkareng sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus) dan tarsius (Tarsius fuscus). Habitat satwa ini terancam. Macaca maura dan Tarsius fuscus merupakan spesies prioritas nasional yang akan ditingkatkan populasinya sebesar 10% dalam waktu 5 tahun (2015-2019).
Peneliti tumbuhan invasif dari Puslitbanghut prihatin dengan kondisi kawasan konservasi ini. “Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki ekosistem karst yang sangat unik dan khas. Saat ini kawasan tersebut menghadapi ancaman serius akibat merebaknya S. campanulata yang berpotensi merubah komposisi tumbuhan, satwa, dan merusak ekosistem asli setempat. Jika tidak dilakukan tindakan cepat untuk mencegah menyebar luas dikhawatirkan upaya pemulihan ekosistem akan menghabiskan biaya lebih besar lagi. Akibat lain kehilangan (punahnya) tumbuhan dan satwa endemik lebih sulit untuk dipulihkan,” tegas Dr. Titiek Setyawati, M.Sc.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. DR. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc selaku pakar dan dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. “Tahun 1988 saya jumpai S. campanulata di Karaenta, waktu itu masih sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Tapi begitu saya lihat beberapa tahun terakhir ini, kok makin menyebar dan batangnya besar-besar. Saya perhatikan di sepanjang akarnya tumbuh trubus. Trubus ini kemudian akan tumbuh menjadi pohon baru,” terangnya.
Ia kemudian melanjutkan penjelasannya. “Celakanya lagi saya lihat sudah ada yang tumbuh besar di atas batu karst. Itu nantinya akan sulit untuk dimatikan. Dari situ kemudian kami mendorong mahasiswa untuk meneliti tumbuhan invasif ini. Saya juga kerap kali mengingatkan taman nasional agar segera dilakukan upaya pengendalian karena telah mendominasi jenis asli yang ada di kawasan tersebut,” tambahnya.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin telah melakukan beberapa upaya menanganinya. Upaya tersebut di antaranya : 1) Analisis vegetasi untuk mengetahui komposisi jenis tumbuhan invasif; 2) Analisis resiko lingkungan untuk menentukan prioritas pengelolaan; 3) survey dan pemetaan sebaran; 4) membuat PSP untuk uji coba pengendalian menggunakan bahan kimia (herbisida) serta berkoordinasi dengan stakeholder terkait.
Hasil kajian analisis resiko tumbuhan invasif tahun 2017, jenis S. campanulata menempati prioritas pertama dalam tata kelola tumbuhan invasif dengan rekomendasi “Musnahkan Infestasi”. Tujuannya adalah untuk mengurangi secara signifikan jenis S. campanulata di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
“Kami mewakili Direktur KKH mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh taman nasional dalam penanganan jenis tumbuhan invasif di kawasan ini,” ujar Dr. Ichwan Muslih, S.Si. M.Si, Kasie Pengawasan dan Pengendalian Keamanan Hayati. Dengan penuh semangat, ia melanjutkan: “Analisis resiko yang telah dibuat oleh Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung akan kami jadikan model percontohan untuk diteruskan ke UPT KSDA dan taman nasional lain dalam tata kelola jenis invasif. Kami juga mengharapkan dukungan dan komitmen stakeholder terkait dalam menangani S. campanulata di kawasan ini agar keaslian keanekeragaman hayatinya tetap terjaga dan lestari.”
Pada akhir pertemuan kepala balai membacakan hasil rumusan dengan lantang. Adapun beberapa di antara hasil rumusan sebagai berikut : 1) Kebijakan pengendalian jenis S. campanulata melalui “Musnahkan Infestasi” belum dapat dilakukan mengingat tumbuhan tersebut belum masuk dalam daftar Jenis Invasif di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri LHK nomor: P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 tentang Jenis Invasif, sehingga perlu segera dilakukan revisi lampiran peraturan tersebut; 2) Tindak lanjut kegiatan yang akan dilaksanakan adalah melakukan Pemulihan Ekosistem disertai dengan (a) analisis spasial persebaran; (b) analisis dampak ekologi, sosial, dan ekonomi; (c) analisis biaya; (d) sosialisasi. Dan yang lebih penting juga adalah seluruh kegiatan tersebut dikerjasamakan dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat.
Semoga jenis asing invasif ini segera ditangani sehingga tidak bertambah luas sebarannya. Kita tak ingin taman nasional ini menjadi taman nasional spathodea nantinya.
Sumber: Usman – Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0