Rabu, 22 Mei 2024 BBKSDA Sumatera Utara
Bunga Bangkai yang sering disamakan dengan Rafflesia arnoldi
Medan, 22 Mei 2024. Dalam beberapa giat diskusi dengan berbagai pihak, seperti : siswa/pelajar, mahasiswa, tenaga pendidik/pengajar dan akademisi, saya selalu memulai dengan ice breaking dengan menunjukkan gambar/foto Bunga Bangkai Suweg Raksasa (Amorphophalluas titanum) sembari bertanya kepada audiens, bunga apakah ini ? Sebagian besar, bahkan mayoritas peserta menjawabnya dengan menyebutkan Rafflesia arnoldi. Usai menjawab, kemudian saya menampilkan/menunjukkan foto/gambar bunga Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi) sembari juga bertanya, bunga apakah ini ? Suasana pun kemudian menjadi riuh. Sebagian menyebut gambar/foto yang terakhirlah yang sebenarnya bunga Rafflesia arnoldi, tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa keduanya (baik Suweg maupun Padma) adalah bunga bangkai jenis Rafflesia arnoldi.
Menariknya lagi, di salah satu forum diskusi dengan tenaga pendidik/pengajar (guru-guru), masih dengan ice breaking yang sama, jawabannya juga sama persis, bahwa bunga Suweg disebutkan sebagai bunga Rafflesia arnoldi. Bahkan saat saya mencoba meluruskan dengan memberi penjelasan, tiba-tiba seorang peserta yang memperkenalkan diri sebagai salah satu Kepala Sekolah SMP Negeri yang ada di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, menginterupsi dan memberi tanggapan. Si ibu Hajjah Siregar, demikian kepala sekolah ini dipanggil, ternyata juga mengajar sebagai guru bidang studi Bahasa Inggris. Dengan suara keras dan lantam serta sedikit emosi, ia menggugat kebenaran bahwa bunga Suweg bukanlah bunga Rafflesia arnoldi. Beliau merujuk pada buku pelajaran bahasa Inggris yang diterbitkan oleh salah satu penerbit buku-buku sekolah terkenal dan ini menjadi acuan/panduan bagi pelajar setingkat SMP, jelas-jelas menyebutkan bahwa bunga Suweg adalah jenis Rafflesia arnoldi. Celakanya lagi, pertanyaan tentang bunga Suweg ini pun pernah pula muncul di ujian nasional bidang studi bahasa Inggris.
Lalu ibu Hajjah Siregar meminta masukan dan pendapat saya tentang polemik ini. Dengan sabar saya memberi penjelasan dan kemudian menyarankan untuk mencari referensi sebagai pendukung informasi tersebut. Apabila masih menemukan di dalam buku ajar bahasa Inggris yang menyebutkan bahwa bunga Suweg diberi nama ilmiah Rafflesia arnoldi, saya sarankan kepada beliau agar mengirim surat ke pihak penerbit untuk meralat/merevisinya sebagai bentuk masukan koreksi/ perbaikan.
Tidak sampai disitu saja, sebuah media cetak nasional Sumatera Utara pernah juga memberitakan mekarnya bunga Bangkai di salah satu tempat. Bunga Bangkai yang mekar sebenarnya adalah jenis Amorphophallus titanum, tapi lagi-lagi diberitakan sebagai jenis Rafflesia arnoldi. Saya mencoba mengkoreksinya dengan mengirimkan surat ke media tersebut. Oleh pihak media kemudian memuatnya dalam rubrik Surat Pembaca, dan kelanjutannya di pemberitaan-pemberitaan berikutnya, pihak redaksi sudah tidak lagi menyebutkan bunga Rafflesia arnoldi melainkan bunga Amorphophallus titanum.
Anggrek Hartinah (sumber foto : alatpertanian.asia)
Di moment lain, saat saya bincang-bincang mencoba menggali pengetahuan masyarakat tentang salah satu jenis anggrek yang dilindungi, yaitu Anggrek Hartinah atau akrab juga disebut dengan Anggrek Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum). Tidak seorangpun yang mengetahui maupun mengenalnya, padahal anggrek ini endemik Sumatera Utara, termasuk jenis yang dilindungi. Dan ketika iseng-iseng saya mencoba bertanya, siapa penemu anggrek ini, semua sepakat bahwa penemunya adalah almarhumah Hj. Siti Hartinah (Tien) Soeharto, mantan ibu negara, karena biasanya nama penemu melekat pada temuannya. Padahal penemunya adalah Rusdi E. Nasution, seorang peneliti dari Herbarium LBN/LIPI Bogor yang menemukan jenis anggrek ini di Desa Baniara Tele, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir pada tahun 1976, saat melakukan penelitian di daerah tersebut. Adapun pemberian nama Hartinah (Tien) Soeharto pada hasil temuannya, adalah bentuk apresiasi (penghargaan) kepada mantan ibu negara atas jasa-jasanya dalam pengembangan dunia peranggrekkan di Indonesia.
Dua contoh kisah di atas hanya sekelumit gambaran betapa rendah dan kurangnya wawasan pengetahuan masyarakat tentang pengenalan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Keterbatasan ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti kurangnya referensi yang dimiliki karena terbatasnya bahan-bahan informasi serta minimnya kegiatan sosialisasi dan penyuluhan. Selain itu, sikap tidak pedulinya masyarakat terhadap keanekaragaman hayati, ditandai dengan maraknya perambahan dan pengalihan fungsi lahan untuk berbagai kepentingan, yang mengakibatkan terfragmentasinya habitat sehingga menyebabkan ancaman terhadap keberlangsungan keberadaan keanekaragaman hayati tersebut.
Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia atau International Day for Biological Diversity tahun 2024 kembali diperingati dengan mengusung tema “Jadilah Bagian Dari Rencana”. Ini tentunya menjadi pengingat sekaligus refleksi bagi kita untuk mengevaluasi dan mengambil tindakan guna membangun kembali komitmen serta kepedulian dan langkah-langkah konkrit (nyata) dalam mengenal dan menjaga/ mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati yang masih tersisa. Butuh keseriusan/kesungguhan serta kolaborasi dari berbagai pihak. Untuk itu mari mulai dengan rencana aksi yang meskipun kecil, tapi memberi dampak yang berarti bagi eksistensi keanekaragaman hayati. Selamat Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia 2024… Salam lestari……
Sumber : Evansus Renandi Manalu (Analis Data) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5