Kampung Rawa Biru TN Wasur, Jantungnya Kota Merauke

Kamis, 07 April 2022

Merauke, 7 April 2022. Kampung Rawa Biru berada dalam wilayah administrasi Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kampung Rawa Biru disebut sebagai jantungnya Kota Merauke karena terdapat sumber air yang berada di Danau Rawa Biru yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah Merauke sebagai sumber air bersih yang didistribusikan oleh PDAM untuk kebutuhan air bersih masyarakat Kota Merauke sehari-hari.

Masyarakat yang bermukim di Kampung Rawa Biru merupakan masyarakat dominan Suku Kanume dengan kebiasaan sehari-hari yaitu berburu, berkebun, serta pengumpul hasil hutan. Masyarakat Suku Kanume (baca : masyarakat lokal) memiliki hak tanah ulayat yang sangat luas di dalam kawasan Taman Nasional Wasur jika dibandingkan kepemilikan hak tanah ulayat suku-suku yang lain. Kaum lelaki di Kampung Rawa Biru memiliki kebiasaan berburu dan berkebun, adapun hewan yang biasa diburu untuk konsumsi rumah tangga antara lain saham (bahasa lokal : kangguru), rusa, babi, dan kasuari. Selain untuk dikonsumsi oleh masyarakat, bulu maupun kulit dari satwa liar tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hiasan dalam busana adat. Kaum perempuan cenderung lebih sering menjala ikan di rawa-rawa, terkadang ikut berburu dengan suaminya namun lebih sering berkebun tanaman semusim seperti kumbili dan betatas, kemudian mengasuh anak serta mengurus rumah tangga. Masyarakat Suku Kanume masih sangat bergantung terhadap sumber daya alam yang ada dan tersedia di dalam hutan dan mereka belum mampu mengolah hasil-hasil hutan yang diperoleh menjadi produk olahan lanjutan bernilai ekonomi tinggi.

Penyuluhan Perlindungan Oleh Petugas Penyuluh Kehutanan

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem memiliki tugas pokok dan fungsi yaitu merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang perlindungan hutan, penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati, serta wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. Perlindungan hutan meliputi pengamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan. Perlindungan Hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Wasur dalam menyelenggarakan perlindungan dan pengamanan hutan yaitu dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan. Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan dilaksanakan di kampung-kampung yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Wasur dan sekitarnya agar dapat meminimalkan permasalahan keamanan hutan seperti penebangan liar, perburuan liar, dan kebakaran hutan. Sasaran kegiatan ini adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dan masyarakat yang aktivitas sehari-harinya masih tergantung dengan sumberdaya hutan itu sendiri. Pada prinsipnya masyarakat sudah memahami pentingnya menjaga dan melestarikan hutan. Petugas Penyuluh menyampaikan beberapa pesan kepada masyarakat bahwa dalam setiap nama seorang warga Suku Kanume terdapat nama marga yang memiliki arti mengenai totem atau perlambangan dari tumbuhan dan satwa yang berada di dalam tanah ulayat mereka yang juga tak lain merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Wasur. Oleh karena itu, nenek moyang mereka dahulu sudah mengajarkan kepada anak cucu mereka agar secara turun-temurun bisa menjaga totem itu agar tetap ada dan tidak punah sehingga generasi berikutnya akan masih dapat melihat tumbuhan dan satwa liar yang menjadi simbol dari marganya masing-masing. Hal tersebut sama maknanya dengan definisi yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dimana UU tersebut menjelaskan tentang makna konservasi yaitu pengelolaan sumber daya alam hayati dimana pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana demi menjamin kesinambungan persediaan hayati dengan meningkatkan dan memelihara kualitas keanekaragaman nilainya.

Manusia hidup dan bergantung dengan memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam. Sayangnya manusia sering tidak sadar bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati secara tidak bijaksana justru berdampak buruk. Dampak paling buruk adalah sumberdaya alam hayati tersebut akan menjadi langka, bahkan punah. Kelangkaan dan kepunahan berbagai sumberdaya alam hayati sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup manusia. Berangkat dari permasalahan tersebut, konservasi menjadi suatu tujuan penting yaitu untuk melestarikan serta menghindari dari kerusakan dan kepunahan.

Ketika sumberdaya alam dimanfaatkan dengan arif dan bijaksana, maka manusia juga akan merasakan kesejahteraan, hal tersebut merupakan hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Alam untuk manusia, dan manusia untuk alam. Dalam pengelolaan Taman Nasional Wasur saat ini, masyarakat bukan lagi sebagai obyek, namun masyarakat adalah subyek. Hal itu bermakna masyarakat bersama pengelola kawasan berperan langsung dalam partisipasi aktif untuk melestarikan dan menjaga kawasan.

Petugas Penyuluh juga menyampaikan himbauan kepada kelompok masyarakat agar mengingat kembali arti penting hutan bagi masyarakat, karena hutan juga merupakan tempat tinggal leluhur dan sumber kehidupan masyarakat. Leluhur telah mengajarkan cara mengelola hutan melalui kearifan lokal dan adat budaya dari masing-masing suku yang ada di dalam kawasan TN Wasur. Balai Taman Nasional Wasur memiliki tugas bersama-sama masyarakat untuk melindungi dan mengamankan hutan agar fungsi utama hutan tersebut tidak hilang serta dapat terus memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, baik yang berada di dalam kawasan TN Wasur maupun yang berada di luar kawasan.

Dalam pertemuan dengan masyarakat, Petugas Penyuluh berkesempatan mencatat berbagai pendapat dari beberapa tokoh masyarakat yang hadir, seperti misalnya Thomas K. Sanggra selaku Kepala Kampung Rawa Biru yang menuturkan bahwa hutan ini (Taman Nasional Wasur) harus terus dijaga karena terdapat satwa-satwa seperti kanguru, cendrawasih, kasuari, dan lain sebagainya yang merupakan totem dari masing-masing marga. Dalam memanfaatkan kayu untuk kebutuhan rumah tangga, sebaiknya untuk tidak menebang habis pohon, jadi mengambil dengan disesuaikan kebutuhan rumah tangga saja. Perlunya dilakukan budidaya tanaman seperti budidaya anggrek sebagai langkah awal untuk pelestarian tanaman anggrek itu misalnya. serta perlunya dibuat suatu kandang penangkaran satwa-satwa liar. Pengelolaan kawasan harus melibatkan masyarakat, termasuk pemanfaatan jasa wisata alam agar masyarakat mendapatkan penghasilan sehingga masyarakat tidak bergantung dengan menebang kayu dan tidak merusak hutan. Pembentukan kelompok pemberdayaan masyarakat juga masih diperlukan sebagai salah satu upaya menambah penghasilan masyarakat. Saran yang bisa diberikan untuk pengelola kawasan, yaitu pengelola kawasan agar melakukan penertiban penggunaan senapan angin dan jerat berburu yang dilakukan oleh masyarakat.

Silvester Sanggra selaku Masyarakat Mitra Polhut (MMP) berpendapat bahwa MMP memiliki tugas untuk menjembatani masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengamanan hutan. MMP berhak menegur jika melihat ada masyarakat atau orang dari kota melakukan perburuan dengan menggunakan senapan angin di dalam kawasan, karena kawasan ini tidak memperbolehkan melakukan perburuan dengan menggunakan senapan angin. Menggunakan senapan angin dapat mempercepat kepunahan satwa yang berada di dalam kawasan TN Wasur. Hendaknya perburuan dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggunakan busur panah dan atau parang saja dan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja seperti ajaran leluhur dahulu.

Paskalina Mayua juga berpendapat bahwa banyaknya kepentingan berimbas pada banyaknya manusia yang keluar masuk ke kampung, hal ini juga dikarenakan terdapat wisata perbatasan. Beberapa hal tersebut mengakibatkan masyarakat lokal tidak mampu untuk mengontrol setiap orang yang datang masuk dan keluar kampung. Mengontrol dalam arti menyaring pengaruh yang masuk dan berdampak pada perilaku masyarakat yang masih sangat bergantung dengan hutan seperti berburu, mengambil ikan di rawa-rawa, mengambil bahan alam untuk kerajinan, dan berkebun harus menyadari bahwa hutan itu penting. Sosialisasi mengenai pengelolaan hutan agar dilakukan oleh pengelola TN Wasur secara berkelanjutan agar dapat menerima keluhan masyarakat terhadap kebijakan mengambil kayu dari dalam kawasan untuk kebutuhan tertentu atau mendesak.

Untuk mengurangi dan mencegah penggunaan senapan angin bersama-sama kita menjaga kawasan taman nasional karena dengan jumlah personil yang terbatas tidak bisa menjangkau seluruh kawasan. Berdasarkan peraturan, masyarakat boleh melakukan aktivitas berburu namun dengan cara tradisional di lokasi yang sudah ditentukan seperti di zona tradisional. Permasalahan ekonomi masyarakat menjadi benang merah yang mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam mengeksploitasi hutan. Pemanfaatan hutan yang tidak terkontrol oleh masyarakat demi memenuhi kebutuhan dapat mengakibatkan semakin berkurangnya satwa dan rusaknya hutan. Pemberdayaan masyarakat bisa menjadi alternatif solusi dalamm menanggulangi permasalahan ekonomi masyarakat, namun memang tidak dipungkiri jika terdapat beberapa kelompok pemberdayaan yang belum berhasil. Harapannya dalam tahun ini masih akan ada program pemberdayaan masyarakat, sehingga diharapkan kepada kelompok masyarakat untuk dapat bersungguh-sungguh dalam menjalankan program tersebut sebagai usaha yang berkesinambungan sehingga akan memberikan tambahan penghasilan yang rutin kepada kelompok masyarakat tersebut.

Sumber : Febrian Aditya Nugraha, S.Hut. - Penyuluh Kehutanan Pertama Balai Taman Nasional Wasur

Editor : Eka Heryadi, S.Hut (Penyuluh Kehutanan Muda)

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini