Mitigasi Konflik Orangutan Tapanuli Membutuhkan Kolaborasi

Senin, 27 Maret 2023

Untuk penanganan konflik dengan Orangutan Tapanuli memerlukan kerjasama berbagai pihak

Padangsidimpuan, 27 Maret 2023. Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) salah satu spesies kera besar, yang hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru, meliputi hutan dataran tinggi tersebar di tiga kabupaten Tapanuli di Propinsi Sumatera Utara, yaitu : Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Berbeda dengan kedua orangutan lainnya (Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan), Pongo tapanuliensis memakan jenis tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan, termasuk biji Aturmangan (Casuarinaceae) dan buah Sampinur Tali/Bunga (Podocarpaceae).

Keberadaan Orangutan Tapanuli di Ekosistem Batang Toru, tidak bisa terhindar dari timbulnya konflik dengan warga di sekitar ekosistem tersebut. Khusus untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, berdasarkan catatan yang ada, konflik kerap terjadi dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, setidaknya satu konflik terjadi setiap bulan. Adapun desa rawan konflik dengan satwa liar ini, diantaranya : Desa Luat Lombang, Kecamatan Sipirok, Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Desa Pagaran Pisang, Kecamatan Arse, Desa Aek Haminjon, Kecamatan Arse dan Lokasi PLTA Batangtoru.

Menyikapi tingginya kerawanan konflik warga dengan Orangutan Tapanuli, pada tanggal 15 – 16 Maret 2023,  Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) berinisiasi melaksanakan kegiatan Koordinasi dan Sosialisasi Mitigasi Konflik Manusia dan Orangutan Tapanuli, di dua kecamatan di Tapanuli Selatan. Bertindak sebagai narasumber dari Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Kepala Seksi Konservasi Wilayah V Sipirok, Refdi Azmi, SH.

Suasana koordinasi dan sosialisasi

Refdi Azmi dalam paparannya menjelaskan beberapa jenis – jenis satwa yang dilindungi, termasuk diantaranya satwa endemik Tapanuli  yaitu Orangutan Tapanuli. Kerentanan konflik dengan warga dapat mengancam kelestarian satwa liar yang dilindungi undang-undang ini, mengingat Orangutan Tapanuli sangat lambat berkembangbiak, dengan jarak melahirkan dari anak yang satu ke yang lainnya membutuhkan waktu sekitar 8 sampai 9 tahun.

Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah dan upaya penanganan konflik secara konkrit dan nyata dengan memperhatikan kaedah-kaedah konservasi, yaitu memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan hidup satwa ini. Selain itu juga diharapkan dalam upaya mitigasi konflik ini tidak hanya dilakukan pihak-pihak tertentu saja, melainkan secara bersama berkolaborasi, yang melibatkan berbagai pihak/unsur/elemen, dalam menangani dan menyelesaikannya.

Sumber : Efrina Rizkiyah Pohan, SP. (Penyuluh Kehutanan) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini