Kucing Hutan Bukan Kucing Biasa

Rabu, 13 April 2022

Makassar, 8 April 2022 – Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan Bidang Wilayah II Parepare melalui Tim Wildlife Rescue Unit (WRU), menerima penyerahan dua ekor Kucing Hutan (Prionnallurus bengalensis) dilindungi dari Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Parepare pada tanggal 8 April 2022.

Informasi keberadaan satwa yang dilindungi berawal dari berlabuhnya Kapal Motor (KM) Thalia di Pelabuhan Cappa Ujung, kota Pare Pare, pada tanggal 8 April 2022 pukul 09:00 WITA setelah menempuh perjalananan dari Nunukan. Kalimantan Timur. Petugas Karantina Pertanian melakukan pemeriksaan ke kapal KM Thalia, akan tetapi hasilnya nihil.

Setelah kapal selesai melakukan pembongkaran petugas Karantina Pertanian kembali melakukan pemeriksaan.  Dari hasil pemeriksaan kedua pada pukul 10:30 WITA, Petugas Karantina berhasil menemukan satwa yang akan diselundupkan, berupa 2 (dua) ekor Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis). Kucing hutan tersebut kemudian diserahkan ke Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan dan diterima oleh Tim WRU Bidang Wilayah II Parepare diwakili Kepala Seksi Wilayah III Soppeng Benny Daly dan Anggota Tim  WRU Moh. Taufan.

Berdasarkan hasil indentifikasi yang dilakukan oleh tim medis Dokter Hewan Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan diperoleh data, bahwa kedua ekor Kucing Hutan berumur kurang lebih 5 bulan, dalam keadaan sehat, meskipun awalnya mengalami dehidrasi akibat perjalanan dari Nunukan. Setelah penanganan awal dengan pemberian makan dan minum terlihat nafsu makan kedua Kucing Hutan tersebut baik, perilaku normal, bulu normal, serta tidak ada cacat fisik maupun luka.

Kepala Seksi Wilayah III Soppeng, Benny Daly., S.Hut., M.Si menyampaikan, “ucapan terima kasih kepada Karantina Pertanian Kelas I Parepare atas kerjasamanya mendukung upaya pelestarian satwa liar yang dilindungi. Serta mengajak dan menghimbau kepada semua pihak agar tidak lagi memelihara dan memperdagangkan satwa liar yang dilindungi undang-undang, sebaiknya membiarkan satwa hidup di alam bebas untuk keseimbangan ekologis”, tegasnya.

Kucing Hutan atau Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis) adalah kucing liar kecil Asia dan banyak ditemukan di kawasan hutan. Pada tahun 2022, kucing hutan telah terdaftar dalam spesies Risiko Rendah oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), sebab terancam kehilangan habitat dan banyaknya perburuan di beberapa persebaran. Persebaran kucing hutan dari wilayah Amur di Timur Jauh Rusia sampai ke Semenanjung Korea, China, Indochina, Subkontinen India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia.

Secara fisik, ukuran tubuh Kucing Hutan seperti kucing domestik, yaitu memiliki bentuk tubuh ramping dengan kaki yang panjang dan selaput yang jelas diantara sela jari kaki. Kepala kucing hutan berukuran kecil dengan ditandai dua garis gelap menonjol, dan moncong putih yang pendek dan sempit. Tubuh dan tungkai ditandai dengan bintik-bintik hitam dengan ukuran dan warna yang tidak sama, badan mereka berbintik dengan beberapa cincin hitam (Permatasari, 2020).

Kucing Hutan yang ukuran fisiknya seperti kucing domestik, telah mencuri perhatian masyarakat sehingga banyak yang memelihara meskipun hal tersebut dilarang dan merupakan tindakan illegal. Maraknya perdagangan illegal khususnya di wilayah Sulawesi Selatan dikarenakan tingginya permintaan dan meningkatnya selera konsumen dalam memelihara satwa dilindungi. Bagi beberapa orang memelihara kucing hutan, sensasinya berbeda dengan memelihara kucing jenis biasa yang lucu dan mudah akrab dengan manusia. Sebagian lagi masyarakat beranggapan membeli satwa liar dapat meningkatkan derajat/ prestice karena mampu membayar dan membeli kebutuhan satwa tersebut, serta memiliki rasa berani yang lebih tinggi karena dapat memelihara satwa liar.

Perdagangan illegal satwa liar mengakibatkan ekosistem hutan menjadi rusak karena terputusnya rantai makanan. Hal ini menjadikan bisnis satwa illegal sama dengan perdagangan manusia dan narkotika, merupakan kejahatan yang paling besar di dunia. Banyak satwa langka yang diperjualbelikan secara illegal (tidak memiliki izin resmi) serta ditangkap dan diselundupkan dengan cara yang tidak sesuai standar Animal Welfare.

Perdagangan satwa illegal merupakan perdagangan yang tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah, sehingga termasuk dalam tindak pidana. Tindak pidana perdagangan tersebut telah diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut hingga memperniagakan satwa liar. Ironisnya keadaan saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan bisnis perdagangan satwa liar.

Sumber : Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan

Penanggung Jawab Berita: Eko Yuwono

Call Center BBKSDA Sulsel: 08114600883

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 0

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini